REPUBLIKA.CO.ID, SAO PAULO -- Hakim federal di Brasil memerintahkan penutupan sementara aplikasi kirim pesan Telegram. Platform media sosial itu diduga gagal memberikan semua informasi mengenai grup percakapan neo-Nazi ke Kepolisian Federal. Langkah ini bagian dari upaya Brasil mengatasi lonjakan kekerasan di sekolah.
Beberapa pengguna Telegram mengatakan tidak bisa lagi menggunakan aplikasi kirim pesan setelah operator lokal mematuhi perintah tersebut. Google dan Apple juga diperintahkan untuk memblokir aplikasi tersebut.
Dalam siaran persnya Rabu (26/4/2023) Kementerian Kehakiman Brasil mengatakan hakim juga menaikan denda harian ketidakpatuhan dari 100 ribu real menjadi 1 juta real atau sekitar 200 ribu dolar AS.
"Fakta yang ditunjukan pihak berwenang kepolisian menunjukkan tujuan jelas Telegram tidak bekerja sama dengan penyelidikan," kata pengadilan federal di Negara Bagian Espirito Santo.
Kepolisian Federal Brasil mengkonfirmasi langkah untuk memblokir Telegram sudah berjalan. Kantor pers Telegram belum menanggapi permintaan komentar mengenai apakah perusahaan aplikasi itu mengetahui keputusan tersebut dan sudah berkomunikasi dengan Kepolisian Federal Brasil.
Perkembangan ini terjadi saat Brasil dilanda gelombang serangan ke sekolah. Termasuk serangan bulan November lalu di mana seorang pria dengan pin swastika di dadanya menembak dan membunuh empat orang dan melukai 12 lainnya di Kota Aracruz di Negara Bagian Espirito Santo.
Sejak tahun 2000 Brasil telah mengalami hampir dua lusin serangan atau kekerasan di sekolah. Hampir setengahnya terjadi dalam 12 bulan terakhir termasuk pembunuhan empat anak-anak di tempat penitipan anak pada 5 April lalu.
Pemerintah federal Brasil berusaha membasmi kekerasan di sekolah dengan fokus pada pengaruh jahat media sosial. Regulasi media sosial kerap menjadi tema rapat antara Presiden Luiz Inácio Lula da Silva, menteri-menterinya, hakim Mahkamah Agung, para gubernur dan walikota pada awal bulan ini.
Tujuannya mencegah serangan berikutnya, terutama meminta pertanggung jawaban platform media sosial atas kegagalan mereka menghapus konten yang menghasut kekerasan.
Dalam rapat 18 April lalu Hakim Mahkamah Agung Alexandre de Moraes menyebut media sosial sebagai 'tanah tanpa tuan' di mana para pengguna dapat lolos dari aksi dan perkataan yang ilegal di dunia nyata. De Moraes dan Lula mendorong regulasi media sosial.
Tahun lalu de Moraes memerintahkan penutupan Telegram di seluruh negeri karena aplikasi itu tidak bekerja sama dengan pihak berwenang. Dalam putusannya, ia mengatakan Telegram berulang kali mengabaikan permintaan pihak berwenang Brasil, termasuk permintaan polisi untuk memblokir sejumlah profil dan memberikan informasi pengguna.
Saat itu de Moraes memberi waktu lima hari pada Apple, Google dan pengguna di Brasil untuk memblokir Telegram dari platform mereka. Salah satu pendiri Telegram mengeluarkan pernyataan yang mengatakan terdapat kesalahpahaman karena alamat email lama dan meminta maaf pada Mahkamah Agung. Telegram akhirnya tidak diblokir.
Mantan presiden dari sayap kanan Jair Bolsonaro dan sekutunya mendorong pendukungnya untuk bergabung dengan Telegram setelah Januari 2021 di bulan yang sama pendukung mantan presiden Amerika Serikat Donald Trump menyerang Capitol Hill. Setelah akun Twitter Bolsonaro ditutup permanen.