Sebelum menjadi perantau, cerita perihal mudik Lebaran yang sering saya dengar selalu terkait dengan keluarga. Beberapa cerita itu antara lain perihal anak yang mudik dari Jakarta lalu dianggap kurang ajar oleh orang tuanya karena berbicara dengan orang tua menggunakan bahasa Indonesia, orang tua yang bahagia karena anaknya yang merantau mudik membawa kisah sukses sekaligus oleh-oleh yang banyak lalu balik ke Jakarta mengajak saudara-saudara untuk meraih sukses di perantauan.
Bagi saya, mudik adalah kesempatan membuka lembar-lbar masa lalu. Berbagai kenangan masa kanak selalu bermunculan dari tiap sudut rumah. Di waktu remaja misalnya, saya bisa tidur nyenyak di bangku pendek, sehingga posisi tubuh menekuk. Ketika sekarang dilakukan lagi, merasa tidak nyaman tidur di bangku pendek itu.
Buku kumpulan cerpen, Mudik, masih mencatat cerita mudik yang berpusat pada keluarga. Cerpen "Mudik" karya Ahmad Munif bercerita tentang keluarga perantau yang tinggal di pinggir kali. Bagi mereka yang bisa mudik, mudik adalah kesempatan yang menggembirakan karena terlepas sejenak dari kemuraman tinggal di kampung kumuh pinggir kali. Di kampung asal mereka bisa menikmati udara segar karena rumah di kampung luas, tanah kosong untuk bermain juga masih banyak. Anak-anak mereka bisa leluasa bermain. Bagi yang tidak mudik, suara kereta api --yang mengangkut para pemudik-- yang melintasi jembatan dekat kampung mereka bagaikan sebuah ejekan bahwa mereka telah gagal menjadi perantau.
Cerpen Mohamad Diponegoro, "Pulangnya Sebuah Keluarga Besar", juga bercerita tentang keluarga. Sang anak merantau karena kecewa pada orang tua. Ia pergi tanpa pamit dan selama bertahun-tahun tak ada kabar, sehingga orang tuanya yang merupakan orang terhormat di kampungnya merasa bersedih. Hingga akhirnya, 10 tahun kemudian, sang anak berkabar akan mudik. Sang Ayah tentu bahagia, tetapi merasa lucu dan masygul ketika tahu bahwa anaknya akan pulang dengan truk. Bukan dengan kereta atau bus. Begitu truk tiba, isinya banyak anak yang riang. Itulah cucu-cucu dari Sang Ayah. Gembiralah Sang Ayah.
Setelah para perantau itu memiliki mobil, lalu tiap tahun perjalanan mudik dipenuhi kemacetan, cerita mudik di televisi atau koran tidak lagi mengenai keluarga. Cerita mudik bergeser ke seluk-beluk pengalaman perjalanan mudik.
Priyantono Oemar