REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mendukung putusan hukuman dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Buol, Sulawesi Tengah, terhadap seorang terdakwa (BK). BK divonis 16 tahun penjara dengan tambahan pemberian tindakan kebiri karena kembali memerkosa anaknya.
Majelis Hakim PN Buol memutus BK dinyatakan terbukti melakukan kembali tindak pidana pemerkosaan terhadap anak kandungnya sendiri yang berusia 13 tahun.
"Terdakwa telah dengan keji melakukan tindakan kekerasan seksual berulang, dimana sebelumnya pelaku pernah dihukum sembilan tahun penjara karena melakukan kejahatan serupa terhadap anak tirinya," kata Nahar dalam keterangannya pada Kamis (18/5/2023).
Nahar menegaskan terjadinya kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang dilakukan oleh keluarga terdekat korban perlu menjadi perhatian serius. Sehingga Pengadilan Negeri Buol tidak hanya menjatuhkan pidana penjara, denda dan kebiri kepada terdakwa, tetapi juga menambahkan hukumannya.
"Berupa pemasangan alat pendeteksi elektronik, serta pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak," ujar Nahar.
Nahar mengatakan, untuk putusan hukuman tambahan dengan pemberian tindakan kebiri kimia belum banyak dilakukan karena harus memenuhi beberapa syarat. Kemenpppa mencatat, sejak UU Nomor 17 Tahun 2016 disahkan, ada enam putusan kebiri dari tujuh tuntutan kebiri.
“Tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik akan dikenakan setelah terpidana menjalani pidana pokok dan untuk jangka waktu paling lama dua tahun,” ujar Nahar.
Nahar menegaskan, hukuman tersebut diharapkan akan menjadi efek jera terhadap pelaku dan dapat meminimalisir kasus kekerasan seksual terhadap anak. Mengingat kasus kekerasan seksual terhadap anak masih sangat tinggi, sehingga penerapan hukuman yang seberat-beratnya sangat perlu untuk mencegah terjadinya tindakan kekerasan seksual.
“UU sudah tegas menyatakan bahwa kekerasan seksual mengancam peran strategis anak sebagai generasi penerus masa depan bangsa dan negara, sehingga perlu memperberat sanksi pidana dan memberikan tindakan terhadap pelaku kekerasan seksual,” ujar Nahar.
Selain itu, Nahar mengatakan, UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mencantumkan bahwa kekerasan seksual bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Apalagi Kasus kekerasan seksual oleh BK dilakukan terhadap anak kandungnya sendiri selama kurun waktu 2020 – 2022.
"Seharusnya keluarga menjadi tempat paling aman dan berperan utama dalam memberikan perlindungan terhadap anak anak," ujar Nahar.
Diketahui, vonis terhadap pelaku merujuk pada Pasal 81 UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, dimana Pelaku telah melakukan persetubuhan terhadap anak dan terbukti melanggar Pasal 76D UU 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.