REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Seorang anggota parlemen Inggris, Layla Moran, telah menyusun rancangan undang-undang (RUU) yang meminta pemerintah untuk memperingati Hari Nakba. Moran memiliki latar belakang Palestina dan merupakan juru bicara urusan luar negeri Partai Demokrat Liberal.
"Keluarga saya sendiri terpaksa meninggalkan Yerusalem selama Nakba. Lima setengah juta pengungsi Palestina di seluruh dunia sekarang berbagi keadaan tanpa hak milik," ujar Moran, dilaporkan Middle East Monitor, Kamis (18/5/2023).
Moran menambahkan, dia mengambil tanggung jawab untuk membawa Palestina di dalam hatinya dan melakukan segala upaya untuk menjaga masa depannya. "Itulah mengapa saya mempresentasikan RUU Peringatan Nakba, dan menyerukan kepada pemerintah untuk memulai babak baru, memperingati bencana ini dan mengakui kewajiban bersejarah Inggris terhadap wilayah tersebut," kata Moran.
RUU itu meminta menteri luar negeri Inggris untuk mendorong dan memfasilitasi peringatan Hari Nakba setiap 15 Mei. Moran juga mengajukan Early Day Motion (EDM) yang meminta tanda tangan anggota parlemen untuk mendukung RUU tersebut.
"Senin, 15 Mei 2023, menandai 75 tahun sejak 750.000 warga Palestina diusir atau melarikan diri dari Palestina di tempat yang sekarang atau dikenal sebagai Hari Nakba. Kami menyerukan kepada Pemerintah untuk segera mengakui negara Palestina merdeka yang akan membantu menghidupkan kembali proses perdamaian, dan mendesak Pemerintah untuk terus mengejar solusi dua negara dan perdamaian abadi di wilayah tersebut," ujar isi EDM tersebut.
EDM juga mengingat 800.000 orang Yahudi yang melarikan diri atau diusir dari negara-negara Arab sejak 1948 dan seterusnya. Untuk pertama kalinya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi memperingati Hari Nakba. Duta Besar Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, menyebut peringatan Hari Nakba di PBB sangat bersejarah dan penting karena Majelis Umum memainkan peran kunci dalam pembagian Palestina.
“Ini mengakui tanggung jawab PBB karena tidak mampu menyelesaikan malapetaka ini bagi rakyat Palestina selama 75 tahun,” kata Mansour kepada sekelompok wartawan PBB baru-baru ini.
Mansour mengatakan, malapetaka bagi rakyat Palestina masih berlangsung. Hingga kini, Palestina masih belum memiliki negara merdeka, dan tidak memiliki hak untuk kembali ke rumah mereka seperti yang diminta dalam resolusi Majelis Umum yang diadopsi pada Desember 1948.
Majelis Umum, yang beranggotakan 57 negara pada 1947, menyetujui resolusi yang membagi Palestina dengan suara 33-13 dan 10 abstain. Sisi Yahudi menerima rencana pemisahan PBB setelah mandat Inggris berakhir pada 1948, dan Israel mendeklarasikan kemerdekaannya. Orang-orang Arab menolak rencana tersebut dan negara-negara Arab melancarkan perang melawan negara Yahudi.
Nakba merupakan kata dalam bahasa Arab yang berarti malapetaka. Peristiwa Nakba terjadi pada 1948, ketika sekitar 700.000 warga Palestina melarikan diri atau dipaksa meninggalkan rumah mereka karena dijajah oleh pasukan Zionis.
Diperkirakan, lebih dari 5 juta pengungsi Palestina berada di seluruh Timur Tengah. Hal ini tetap menjadi isu utama yang diperdebatkan dalam konflik Arab-Israel. Israel menolak tuntutan pengembalian massal pengungsi Palestina ke rumah mereka yang telah lama hilang. Israel mengatakan, langkah itu akan mengancam karakter Yahudi.
Menjelang peringatan 75 tahun peristiwa Nakba, Majelis Umum yang kini beranggotakan 193 negara pada 30 November 2022 menyetujui sebuah resolusi melalui voting dengan suara 90-30 dengan 47 abstain. Resolusi itu meminta Komite PBB untuk Pelaksanaan Hak-Hak yang Tidak Dapat Dicabut dari Rakyat Palestina mengorganisir rapat tingkat tinggi pada 15 Mei untuk memperingati Hari Nakba. Amerika Serikat termasuk di antara negara-negara yang menentang resolusi tersebut.