Oleh : Muhammad Hafil, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Jika tidak ada halangan, jamaah haji Indonesia akan diberangkatkan secara bertahap mulai 24 Mei 2023. Ada 221.000 orang jamaah haji yang akan diberangkatkan, terdiri atas 203.320 kuota haji reguler dan 17.680 kuota haji khusus.
Sebagaimana kita ketahui, ibadah haji diperuntukkan bagi umat Islam yang mampu. Baik mampu secara ekonomi, kesehatan, maupun keamanan.
Termasuk bagi penulis, mampu di sini juga terkait kesempatan. Karena begitu besarnya minat berangkat haji bagi Muslim Indonesia sementara kuota yang diberikan setiap tahunnya terbatas.
Ini membuat antrean masyarakat Indonesia yang pergi haji sangat panjang. Bisa mencapai puluhan tahun.
Dengan kondisi itu, maka sudah sebaiknya setiap jamaah haji yang dimampukan Allah untuk berangkat ke Tanah Suci harus memaksimalkan waktu dan kesempatan selama di sana. Bukan hanya ritual ibadah, tetapi juga termasuk adab dan etika kita selama di sana.
Jangan hanya fokus banyak-banyak mengerjakan ritual ibadah tetapi melupakan adab dan etikanya. Ini karena jamaah haji akan tinggal di Tanah Suci sekitar 40 hari bagi haji reguler dan 2-3 minggu bagi haji khusus.
Mengapa harus menjaga adab dan etika di Tanah Suci?
Sebagaimana kita tahu, Makkah adalah kota yang diberkahi Allah sebagaimana firman-Nya dalam Surat Ali Imran ayat 96 Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Maulana Muhammad Zakariya Al Khandahlawi dalam kitab Fadhilah Haji menuliskan, barangsiapa memasuki Makkah akan memperoleh keselamatan dari api neraka jika melakukan amal-amal baik.
Melakukan amal-amal ibadah di Makkah juga mendapat balasan pahala yang berlipat ganda. Misalnya, shalat di Masjidil Haram pahalanya setara dengan 100 ribu kali shalat.
Hasan Bashri, seorang tabiin yang berguru langsung pada sejumlah sahabat nabi pernah menyebutkan sejumlah amalan yang pahalanya dilipatgandakan. Di antaranya, puasa satu hari di Makkah sama dengan berpuasa 100 ribu kali di tempat lain. Kemudian, bersedekah satu dirham di Makkah sama dengan 100 ribu dirham di tempat lain dan setiap amal kebaikan yang dilakukan di Makkah akan seperti melakukan 100 ribu kali kebaikan di tempat lain.
Namun, sebagaimana pahala amal-amal baik yang dilipatgandakan selama di Makkah, begitu juga dengan kemaksiatannya. Dosa-dosanya akan dilipatgandakan berkali-kali.
Umar bin Khattab menganggap satu kali melakukan dosa di Makkah adalah 70 kali lebih dahsyat dari pada melakukannya di luar kota suci ini. Sedangkan Imam Al Ghazali menuliskan dalam Ihya Ulumuddin, perbuatan dosa sangat dilarang keras dilakukan di Makkah karena pelakunya mudah mendapatkan murka Allah.
Ada ulama yang berpendapat adanya pelipatgandaan balasan kejelekan yang dilakukan di Makkah atau Tanah Haram. Hal ini lebih karena mengagungkan kedudukan Tanah Haram yang jelas-jelas memiliki kelebihan di banding tempat lain.
Dengan menjaga adab dan etika selama kita melaksanakan ibadah haji, Insya Allah ini menjadi salah satu jalan bagi kita untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan kita selama di Tanah Suci dan meraih haji yang mabrur. Karena, jamaah haji akan pulang dengan membawa adab-adab dan etika di Tanah Suci seperti memperbanyak ibadah dan meninggalkan hal-hal buruk ketika sudah di Tanah Air.
Adapun ciri-ciri haji mabrur ada tandanya. Menurut Al-asan Al-Bashri, tandanya ialah sepulang dari menaikkan Haji, hatinya menjadi semakin zuhud atau tidak dikuasai oleh kemewahan hidup di dunia. Dia bertambah keinginannya kepada akhirat.
Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali, di antara tanda diterimanya haji seseorang ialah meninggalkan kemaksiatan yang menjadi kebiasaan sebelumnya mengganti teman-temannya yang durhaka dengan teman-teman yang shalih. Meninggalkan majelis-majelis permainan dan kelalaian lalu mengganti dengan majelis dzikir dan kesadaran.
Bila tanda-tanda seperti yang disebut oleh Al Hasan Al bashri Al Ghazali dan tanda terakhir tidak nampak pada orang yang setelah menunaikan ibadah haji, boleh jadi ibadah hajinya tidak diterima oleh Allah. Dan ini menjadi suatu penyesalan bagi jamaah haji.
Mokh Syaiful Bakhri dalam bukunya Belum Haji Sudah Mabrur, bila tanda-tanda seperti yang disebut oleh Al Hasan Al bashri Al Ghazali dan tanda terakhir tidak nampak pada orang yang setelah menunaikan ibadah haji, boleh jadi ibadah hajinya tidak diterima oleh Allah. Dan ini menjadi suatu penyesalan bagi jamaah haji. Sebutannya adalah Haji mardud atau ibadah hajinya ditolak.'
Insya Allah, jamaah haji Indonesia yang berangkat tahun ini bisa menjaga sikap dan adab di Tanah Suci. Dan, pulang dengan meraih predikat haji mabrur dari Allah. Aaamiin.