Selasa 23 May 2023 06:05 WIB

Cuaca Ekstrem dan Bencana Iklim Tewaskan 2 Juta Orang di Dunia dalam 50 Tahun Terakhir

Bencana iklim global juga telah menimbulkan kerugian ekonomi 4,3 triliun dolar AS.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Cuaca Ekstrem/Ilustrasi. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengatakan, lebih dari 2 juta orang di dunia tewas akibat cuaca ekstrem dan peristiwa terkait iklim dalam 50 tahun terakhir.
Foto: bmkg.go.id
Cuaca Ekstrem/Ilustrasi. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengatakan, lebih dari 2 juta orang di dunia tewas akibat cuaca ekstrem dan peristiwa terkait iklim dalam 50 tahun terakhir.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA – Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengatakan, lebih dari 2 juta orang di dunia tewas akibat cuaca ekstrem dan peristiwa terkait iklim dalam 50 tahun terakhir. Bencana iklim selama setengah abad terakhir juga telah menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 4,3 triliun dolar AS.

Dalam siaran persnya pada Senin (22/5/2023), WMO mengungkapkan, sejak 1970 hingga 2021, terdapat 11.779 kejadian terkait cuaca, iklim, dan air. Dari 2 juta kematian yang tercatat akibat peristiwa-peristiwa iklim itu, 90 persen lebih berasal dari negara-negara berkembang.

Baca Juga

Dampak ekonomi yang timbul dari bencana iklim juga paling dirasakan oleh negara-negara tersebut. “Masyarakat yang paling rentan sayangnya menanggung beban cuaca, iklim, dan bahaya terkait air,” kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas, dikutip Anadolu Agency.

Dari kerugian sebesar 4,3 triliun dolar AS yang tercatat akibat bencana atau peristiwa iklim selama 50 tahun terakhir, Amerika Serikat memikul 1,7 triliun dolar di antaranya atau setara 39 persen. Kendati demikian, WMO menyebut, negara-negara berkembang dan kepulauan kecil tetap yang paling terimbas perekonomiannya akibat bencana iklim. Hal itu mengingat ukuran ekonomi mereka.

Menurut WMO, kerugian ekonomi meningkat dengan badai sebagai penyebab utamanya. “Suhu ekstrem adalah penyebab utama kematian yang dilaporkan dan banjir adalah penyebab utama kerugian ekonomi,” ungkapnya.

Sementara terkait kematian, WMO menjelaskan, pengembangan sistem peringatan dini telah memangkas jumlah korban tewas akibat bencana atau peristiwa iklim selama 50 tahun terakhir. Terkait hal itu, Petteri Taalas menyinggung tentang topan Mocha yang menerjang Bangladesh dan Myanmar belum lama ini.

"Badai siklon Mocha yang sangat parah mencontohkan hal ini. Mocha menyebabkan kehancuran yang meluas di Myanmar dan Bangladesh, berdampak pada orang-orang termiskin dari yang miskin,” kata Taalas.

Dia mengungkapkan, sebelum ada pengembangan teknologi serta sistem peringatan dini, badai seperti Mocha dapat menyebabkan puluhan bahkan ratusan ribu orang di Myanmar dan Bangladesh tewas. “Berkat peringatan dini dan penanggulangan bencana, tingkat kematian yang parah ini sekarang untungnya menjadi sejarah. Peringatan dini menyelamatkan nyawa,” ucapnya.

Temuan WMO terkait kematian dan kerugian finansial akibat bencana iklim selama 50 tahun terakhir disusun sebagai pemutakhiran atas Atlas of Mortality and Economic Losses from Weather, Climate, and Water Extremes. Pada awalnya, atlas tersebut hanya mencakup data dari 1970 hingga 2019.

WMO merilis temuan terbarunya menjelang penyelenggaraan Kongres Meteorologi Dunia yang dihelat setiap empat tahun. Lewat kongres tersebut, WMO ingin memastikan bahwa layanan peringatan dini menjangkau semua orang di bumi pada akhir 2027.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement