REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekerasan seksual yang terjadi berturut-turut di lingkungan pesantren dapat mempengaruhi animo masyarakat untuk mengirimkan anaknya. Hal ini disampaikan Pengamat Pendidikan Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah.
"Bisa saja kejadian yang berturut-turut ini mempengaruhi animo masyarakat untuk mengirim anak-anak mereka ke pesantren meskipun tentu tidak semuanya kondisinya seperti tersebut," kata Jejen, Jumat (26/5/2023).
"Oleh karena itu, menurut saya, orang tua itu tentu saja harus mempelajari baik-baik tentang riwayat sejarah pesantren. Bagaimana track record pesantren tersebut, kualitas gurunya, ustadznya, kualitas kiainya dengan bertanya atau melakukan riset-riset sederhana bertanya mencari informasi ke masyarakat sekitar atau ke alumni," lanjut Jejen.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam tindak kekerasan seksual yang diduga terjadi di Pondok Pesantren di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Aksi bejat itu diduga dilakukan oleh LMI (43 tahun) dan HSN (50) yang merupakan pimpinan ponpes.
Kedua pelaku diduga telah melakukan kekerasan seksual terhadap 41 santri dalam rentang waktu hingga tahun 2023. Selanjutnya, tiga orang korban telah membuat laporan polisi atas perbuatan bejat tersebut.
"Sangat prihatin terhadap kejadian yang bukan kali pertama terjadi bahwa kiai atau pengasuh, ustadz yang diharapkan menjadi sosok teladan di dalam konteks pembentukan karakter, ilmu pengetahuan agama, justru mereka menjadi pelaku kekerasan seksual," ucap Jejen.
"Kan ini sebuah anomali yang terjadi di mana justru para orang tua pasti tujuan mengirim anak-anak mereka ke pesantren adalah agar anak mereka memiliki pengetahuan agama yang luas, mendalam, tetapi juga mengharapkan anak-anak mereka memiliki basis pengetahuan dan kultural dalam konteks pembentukan akhlak mereka tetapi justru yang diterima sebaliknya," kata Jejen.