Oleh: Prof DR Yusril Ihza Mahendra, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI
Sebagian orang menyebut tanggal 1 Juni adalah Hari Lahirnya Pancasila, yang sekarang sebagian orang menyebutnya dengan istilah Hari Pancasila. Pancasila adalah landasan falsafah negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea ke-4.
Saya lebih suka menyebut Pancasila sebagai “landasan falsafah negara” bukan dasar negara atau ideologi sebagaimana sering kita dengar. Istilah landasan falsafah negara itu bagi saya lebih sesuai dengan apa yang ditanyakan Ketua BPUPKI dr. Radjiman Wedyodiningrat.
Di awal sidang, Radjiman berkata, sebentar lagi kita akan merdeka. Apakah filosofische grondslag Indonesia merdeka nanti?. Radjiman tidak bertanya tentang ideologi negara atau dasar negara. Dia bertanya filosofische gronslag atau landasan falsafah negara.
Bagi saya ucapan Radjiman itu benar. Landasan falsafah adalah sesuatu rumusan yang mendasar, filosofis dan universal. Beda dengan ideologi yang bersifat eksplisit, yang digunakan oleh suatu gerakan politik, yang berisi basis perjuangan, program dan cara mencapainya.
Landasan falsafah negara haruslah merupakan kesepakatan bersama dari semua aliran politik ketika mereka mendirikan sebuah negara. Karena itu landasan falsafah negara harus menjadi titik temu atau common platform dari semua aliran politik yang ada di dalam negara itu.
Ada beberapa tokoh yang menanggapi pertanyaan Radjiman. Mereka menyampaikan gagasan tentang apa landasan falsafah negara Indonesia merdeka itu. Supomo, Hatta, Sukarno, Agus Salim, Kiyai Masykur, Sukiman adalah diantara tokoh-tokoh yang memberi tanggapan.
Sukarno adalah pembicara terakhir yang menyampaikan tanggapannya pada 1 Juni 1945. Dia mengusulkan lima asas untuk dijadikan sebagai landasan falsafah. Sukarno menyebut lima asas yang diusulkannya itu sebagai Pancasila.
Setelah semua tanggapan diberikan, Supomo berkata bahwa dalam BPUPKI itu terdapat dua golongan, yakni golongan kebangsaan dan golongan Islam. Golongan Islam, kata Supomo, menghendaki Indonesia merdeka berdasarkan Islam. Sebaliknya golongan kebangsaan menghendaki negara persatuan nasional yang memisahkan antara agama dengan negara.
Setelah itu dibentuklah Panitia Sembilan untuk merumuskan landasan falsafah negara berdasarkan semua masukan yang diberikan para tokoh. Kesembilan tokoh itu adalah Sukarno, Hatta, Abikoesno, Agus Salim, Subardjo, Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Maramis dan Yamin.
Sembilan tokoh itu, empat mewakili Golongan Kebangsaan, empat mewakili Golongan Islam dan satu mewakili Golongan Kristen. Sembilan tokoh ini merumuskan naskah proklamasi yang sekaligus akan menjadi Pembukaan UUD. Naskah tersebut disepakati pada tanggal 22 Juni 1945.
Yamin menyebut naskah itu “Piagam Jakarta” yang berisi gentlemen agreement seluruh aliran politik di tanah air. Dengan Piagam Jakarta kompromi tercapai, Indonesia tidak berdasarkan Islam, tapi juga tidak berdasarkan sekularisme yang pisahkan agama dengan negara. Dalam Piagam Jakarta itulah untuk pertama kalinya kita temukan rumusan Pancasila sebagai landasan falsafah negara yang disepakati semua aliran.
Ketika proklamasi, naskah Piagam Jakarta tidak jadi dibacakan sebagai teks proklamasi. Teks baru dirumuskan malam tanggal 16 Agustus. Teks baru proklamasi yang dibacakan tanggal 17 Agustus adalah teks yang kita kenal sekarang “Kami bangsa Indonesia..” dst. Namun naskah Piagam Jakarta disepakati akan menjadi Pembukaan UUD yang disahkan tanggal 18 Agustus 45.