REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik, Deni Irvani mengatakan, SMRC menemukan 58 persen responden akan tetap mengikuti pemilu jika dilakukan menggunakan sistem tertutup. Tapi, 36 persen responden memilih tidak ikut pemilu.
Ia mengingatkan, kita sebenarnya sudah ada pengalaman dari pemilu lalu. Pada Pemilu 2019 lalu, data KPU tingkat partisipasi pemilih sekitar 82 persen, jadi angka ini jauh lebih tinggi dari 58 persen survei SMRC.
"Turunnya bisa hampir 30 persen, tingkat partisipasi bisa menurun, ini salah satu dampak yang mungkin bisa terjadi, mungkin menjadi kurang menarik karena publik tidak bisa menentukan siapa yang mewakilinya," kata Deni, Rabu (14/6).
Angka ini sejalan pula dengan survei yang beberapa kali dilakukan SMRC pada beberapa periode berbeda. Yang mana, publik masih lebih merasa terwakili oleh anggota-anggota DPR dibanding oleh partai-partai politik.
Terkait pemahaman publik, ada 24 persen yang tahu sistem terbuka sedang digugat di MK, meningkat dari survei SMRC pada Februari yaitu 14 persen. Mayoritas responden memang tidak mengetahui atau mengikuti gugatan itu.
Tapi, ia menerangkan, ternyata mayoritas responden dari yang tahu itu tidak mendukung perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka ke tertutup. Terdapat 64 persen responden yang menyatakan tidak mendukung.
"Yang akan mendukung 31 persen. Jadi, dua kali lebih banyak yang tidak mendukung atau menolak, ini konsisten dari dua survei Februari dan Mei," ujar Deni.
Direktur Riset SMRC ini menekankan, 64 persen tidak mendukung itu bukan angka sedikit. Apalagi, setelah dilakukan pendalaman dari angka itu ada 53 persen yang menyatakan tidak mendukung akan melakukan protes terbuka.
Sebanyak 70 persen responden akan melakukan protes melalui media sosial. Sedangkan, responden yang menyatakan akan ikut demo turun ke jalan ada 22 persen. Angka ini jadi banyak kalau dikonversi ke jumlah pemilih.
"Sekitar 200 jutaan (rakyat atau pemilih), ada empat jutaan, lumayan banyak, jadi banyak sebetulnya, selain yang protes di media sosial," kata Deni.