REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fuji Eka Permana dari Makkah, Arab Saudi
Jamaah haji setelah melakukan wukuf di padang Arafah pada 9 Dzulhijah 1444 Hijriyah (27 Juni 2023) akan mabit di Mina dan melempar jumrah. Sehubungan dengan itu, jamaah haji dinilai perlu mengetahui makna atau hakikat lempar jumrah.
Kepala Seksi Bimbingan Ibadah Daerah Kerja (Daker) Makkah, KH Zulkarnain Nasution, mengatakan bahwa ada makna atau hakikat lempar atau melontar jumrah yang perlu diketahui jamaah haji. Melontar jumrah mengingatkan jamaah haji bahwa Iblis senantiasa berusaha menghalangi manusia melakukan kebaikan.
"(Lempar jumrah) inilah simbol perlawanan sepanjang umur manusia terhadap setan," kata Kiai Zulkarnain saat diwawancarai Republika, Selasa (27/6/2023)
Ia menjelaskan bahwa melontar jumrah adalah simbol kutukan kepada unsur kejahatan yang sering membinasakan manusia. Melontar juga mengisyaratkan tekad kuat untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang mendatangkan bahaya kepada diri sendiri dan masyarakat.
Lemparan jumrah harus dilakukan dengan benda padat berupa kerikil. Lemparan tidak cukup sekali, tapi tujuh kali dan harus mengenai sasaran. Ini artinya perlawanan terhadap setan dan sifat-sifatnya harus dilakukan secara ulet dan sekuat tenaga.
"Sifat-sifat syaitaniyah yang cenderung destruktif harus dikeluarkan, dilemparkan, dan dibuang sekuat tenaga dari dalam diri manusia," ujar Kiai Zulkarnain.
Kepala Seksi Bimbingan Ibadah Daerah Kerja Makkah ini mengatakan, proses melempar batu krikil harus dipastikan tepat agar tidak salah sasaran dan dilakukan dengan niat yang kokoh, berulang kali, terus-menerus hingga kejahatan benar-benar sirna. Dengan melontar jumrah adalah simbol agar setiap manusia mampu menaklukkan nafsu syahwat dirinya. Karena setan sebenarnya adalah nafsu syahwat itu sendiri.
Jumrah juga bagian dari bentuk pengorbanan yang tulus ikhlas dari seorang hamba kepada Tuhannya. Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissalam, menerima perintah untuk menyembelih anaknya Ismail Alaihissalam. Dalam proses pengorbanan itu setan turut menggoda agar perintah Allah itu tidak mesti dilaksanakan.
"Tapi justru Ismail selalu meyakinkan bapaknya Ibrahim bahwa ia akan menerima ini dengan kesabaran, dan bentuk pengorbanan ini akhirnya digantikan Allah dengan pengorbanan seekor kibar atau domba, yang sampai saat dikenal dengan istilah yaumun nahar," jelas Kiai Zulkarnain.