REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Jepang dan Korea Selatan pada Kamis (28/6/2023) setuju menghidupkan kembali kesepakatan swap mata uang senilai 10 miliar dolar AS. Kesepakatan ini untuk membangun hubungan dua arah yang lebih baik dengan memperkuat jaring pengaman keuangan regional di tengah meningkatnya risiko geopolitik.
Kesepakatan swap pertama kali disepakati pada tahun 2001 sebagai alat untuk membantu kedua negara memerangi krisis keuangan. Namun kesepakatan itu tidak pernah digunakan dan dibiarkan berakhir pada tahun 2015 di tengah ketegangan diplomatik.
"Ada kebutuhan yang meningkat untuk memperkuat hubungan bilateral karena ekonomi global dan regional menghadapi ketidakpastian dan risiko yang besar," kata Wakil Menteri Keuangan Jepang untuk urusan internasional, Masato Kanda, kepada para wartawan.
Kesepakatan pertukaran mata uang ini merupakan bagian dari ambisi kedua negara untuk mempromosikan kerjasama, tambahnya. Pada puncaknya di tahun 2011, kesepakatan ini bernilai 70 miliar dolar AS.
Kesepakatan yang dihidupkan kembali ini dicapai antara Menteri Keuangan Jepang Shunichi Suzuki dan mitranya dari Korea Selatan, Choo Kyung-ho, pada sebuah pertemuan di Tokyo, dalam dialog pertama antara menteri-menteri keuangan kedua negara dalam tujuh tahun terakhir.
Choo mengatakan jalur swap ini tidak dimaksudkan untuk penggunaan langsung, tetapi bermakna untuk memperkuat jaringan kerjasama keuangan. "Jalur swap memperluas sumber-sumber likuiditas dolar," kata Choo, kepada wartawan setelah pertemuan tersebut.
Kemudian, kantor kepresidenan Korea Selatan mengatakan bahwa kesepakatan ini merupakan simbol peningkatan hubungan, dan diharapkan memiliki efek positif pada pasar keuangan dan valuta asing. Kedua menteri juga membahas ekonomi global, investasi infrastruktur dan masalah hutang di negara-negara berkembang, dan kerjasama keuangan yang lebih luas.
Seoul akan menjadi tuan rumah putaran pembicaraan keuangan berikutnya pada tahun 2024.