Jumat 14 Jul 2023 15:28 WIB

Menlu AS Desak ASEAN Tekan Junta Myanmar untuk Setop Kekerasan

AS ajak ASEAN untuk menekan rezim junta Myanmar

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengajak ASEAN untuk menekan rezim junta Myanmar
Foto: AP Photo/Dita Alangkara
Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengajak ASEAN untuk menekan rezim junta Myanmar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengajak ASEAN untuk menekan rezim junta Myanmar agar menghentikan aksi kekerasan di negara tersebut. Hal itu disampaikan saat dia menghadiri ASEAN Post Ministerial Conference (PMC) bersama AS di Hotel Shangri-la, Jakarta, Jumat (14/7/2023).

“Untuk (isu) Myanmar, kita harus menekan rezim militer untuk menghentikan kekerasan, untuk menerapkan ASEAN Five Points of Consensus, untuk mendukung kembalinya pemerintahan yang demokratis,” kata Blinken dalam pertemuan yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi.

Baca Juga

Dia menambahkan, AS baru saja mengumumkan pemberian bantuan kemanusiaan tambahan sebesar 74 juta dolar untuk kawasan. “Termasuk hampir 61 juta dolar AS untuk mendukung Rohingya yang terusir akibat kekerasan yang sedang berlangsung di Myanmar,” ujarnya.

Sebelum Blinken, Menlu Kanada Melanie Joly juga menyoroti kian memburuknya situasi di Myanmar. Hal itu disampaikan ketika dia menyinggung tentang tantangan regional saat berpartisipasi dalam ASEAN Post Ministerial Conference yang digelar di Hotel Shangri-la, Jakarta, Kamis (13/7/2023).

“Sebagai contoh situasi di Myanmar terus memburuk. Krisis politik, ekonomi, keamanan, dan kemanusiaan bertambah, jumlah korban sipil bertambah, dan ancaman terhadap keamanan regional meningkat,” ujar Joly.

Joly menekankan, Kanada mendukung sentralitas dan kepemimpinan ASEAN dalam menanggapi krisis di Myanmar. “Termasuk melalui Five Points of Consensus dan pekerjaan kantor utusan khusus (ASEAN untuk Myanmar),” ujar diplomat berusia 44 tahun tersebut.

Dia menambahkan, Kanada mendukung upaya menuju Myanmar yang damai dan demokratis, termasuk solusi jangka panjang bagi para pengungsi Rohingya. “Kekerasan yang dilakukan oleh militer harus diakhiri dan dukungan kemanusiaan harus menjangkau mereka yang paling membutuhkan,” kata Joly.

Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell turut menyinggung tentang isu Myanmar saat menghadiri ASEAN Post Ministerial Conference pada Kamis lalu. Dia menegaskan bahwa perhimpunan Benua Biru tak mengakui pemerintahan junta Myanmar. “Kami tidak mengakui junta militer dan percayalah Anda akan menemukan solusi untuk mengatasi masalah (Myanmar) ini,” ujar Borrell kepada para menlu ASEAN.

Krisis di Myanmar pecah setelah militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil di sana pada Februari 2021. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD). NLD adalah partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi.

Setelah kudeta, hampir seluruh wilayah di Myanmar diguncang gelombang demonstrasi. Massa menentang kudeta dan menyerukan agar para pemimpin sipil yang ditangkap dibebaskan. Namun militer Myanmar merespons aksi tersebut secara represif dan brutal.

Dalam laporannya yang diterbitkan pada Juni 2023 lalu, Peace Research Institute Oslo mengungkapkan, sejak kudeta pada Februari 2021, lebih dari 6.000 orang terbunuh di Myanmar. Sementara itu PBB menyebut, setidaknya 1,2 juta orang juga telah terlantar atau kehilangan tempat tinggal akibat pertempuran pasca-kudeta.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement