REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Uni Eropa pada Kamis (20/7/2023), menjatuhkan sanksi ketujuh kalinya terhadap Myanmar. Pemberian sanksi yang lebih banyak kepada Myanmar ini, sebagai tanggapan atas apa yang dikatakan Uni Eropa bahwa eskalasi kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar terus meningkat sejak kudeta militer tahun 2021, yang menggulingkan pemimpin terpilih Aung Suu Kyi.
Sanksi baru ini menargetkan enam orang dan satu entitas, termasuk menteri imigrasi dan kependudukan, menteri tenaga kerja, serta menteri kesehatan dan menteri olahraga, kata Uni Eropa dalam sebuah pernyataan. "Langkah-langkah pembatasan saat ini berlaku untuk total 99 individu dan 19 entitas. Merekayang ditetapkan tunduk pada pembekuan aset dan larangan perjalanan, yang mencegah mereka memasuki atau transit melalui wilayah Uni Eropa," tambahnya.
"Selain itu, orang dan entitas Uni Eropa dilarang menyediakan dana bagi mereka yang terdaftar."
Myanmar telah mengalami kekacauan sejak kudeta tahun 2021, dengan gerakan perlawanan kelompok etnis minoritas yang melawan junta militer di berbagai bidang. Terlebih ketika pasukan militer melakukan penumpasan berdarah terhadap para penentang yang membuat sanksi Barat diberlakukan kembali.
Junta mengatakan bahwa mereka harus mengambil alih kekuasaan Myanmar, karena kecurangan pemungutan suara dalam pemilihan umum pada November 2020, yang dengan mudah dimenangkan oleh partai Suu Kyi. Sementara kelompok-kelompok sipil pemantau pemilu tidak menemukan bukti adanya kecurangan massal.
Junta militer sebelumnya menyalahkan pandemi Covid-19 dan kelompok-kelompok perlawanan bersenjata atas kegagalannya mencapai perdamaian.