REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cukup banyak restoran yang mengklaim gerainya ramah Muslim atau "Muslim-friendly". Namun, apakah restoran yang mencantumkan keterangan demikian menyajikan hidangan yang benar-benar sudah terjamin kehalalannya?
Dikutip dari laman Warees Halal, Ahad (23/7/2023), rumah makan yang ramah Muslim lazimnya memiliki sejumlah pilihan untuk memenuhi kebutuhan kuliner tamu Muslim. Ada pilihan makanan halal yang cocok untuk disantap oleh konsumen Muslim.
Akan tetapi, restoran itu mungkin juga menyajikan menu nonhalal seperti minuman beralkohol dan daging nonhalal. Namun, ada sistem dan proses yang terjamin di sejumlah negara untuk tetap menjaga integritas opsi menu halal sehingga keduanya tidak tercampur.
Untuk itu, restoran yang mengklaim gerainya ramah Muslim harus mematuhi syarat dan ketentuan tertentu. Biasanya, perusahaan makanan telah dilengkapi dengan keahlian yang diperlukan untuk memahami persyaratan dasar soal kehalalan.
Dengan begitu, para staf bisa menetapkan proses yang tepat untuk memastikan kualitas makanan yang disajikan dan kehalalannya tetap terjaga. Di negara dengan penduduk Muslim-nya minoritas seperti Jepang, misalnya, ada sertifikasi untuk gerai "ramah Muslim".
Sertifikasi itu mengadopsi pendekatan inklusif, memperhitungkan percampuran sosial antara tamu Muslim maupun non-Muslim serta kebutuhan mereka yang mungkin berbeda. Tak cuma mempertimbangkan aspek bisnis, tapi juga dirancang melayani konsumen dengan permintaan kuliner yang berbeda.
Sementara itu, laman Halal Times menyoroti perbedaan antara restoran "ramah Muslim" dan yang mencantumkan label pork-free alias tidak menyajikan daging babi. Perbedaan keduanya juga ada dalam panduan Kyoto Official Travel Guide.