Rabu 26 Jul 2023 08:04 WIB

MUI Didirikan Setelah Perda-Perda 'Berbau Piagam Jakarta' Dihapus dan Pancasila Masih Ditolak

Di awal Orde Baru banyak peraturan daerah dianggap quotberbau Piagam Jakartaquot Mendagri Amirmachmud menghapusnya, lalu membentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI). Setelah itu, menjelaskan ideologi Pancasila yang masih mengalami penolakan

Rep: oohya! I demi Indonesia/ Red: Partner
.
Foto: network /oohya! I demi Indonesia
.

Poster<a href= Hamka dipasang di Lapau Kapau di Nagari Kapau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Hamka menjadi ketua MUI pertama. Pembentukan MUI diprakarasi pemerintah setelah menghapus perda-perda "berbau Piagam Jakarta"." />
Poster Hamka dipasang di Lapau Kapau di Nagari Kapau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Hamka menjadi ketua MUI pertama. Pembentukan MUI diprakarasi pemerintah setelah menghapus perda-perda "berbau Piagam Jakarta".

Hari ini, 26 Juli 2023, Majelis Ulama Indonesia (MUI) berusia 48 tahun. Organisasi ulama ini, kata Amirmachmud dalam buku biografinya, H Amirmachmud, Pajurit Pejuang, “Peresmiannya dilakukan dalam suatu muktamar di Balai Sidang Jakarta pada tahun 1975.”

Pembentukan MUI diprakarsai oleh pemerintah, karena ada yang keberatan. M Natsir termasuk yang keberatan dengan rencana pembentukan MUI itu yang mendapat dukungan dari Kasman Singodimejo. Alasan mereka, seperti dicatat Amirmachmud, MUI akan memunculkan over organized dalam urusan keagamaan. Mereka mengkhawatirkan kegiatan keagamaan akan dikendalikan oleh pemerintah.

Ide pembentukan organisasi ulama itu dilontarkan oleh Amirmachmud. Saat itu ia menjadi menteri dalam negeri (mendagri). Ia menjadi mendagri sejak Januari 1969 hingga Oktober 1982. Ketika pada1962-1965 ia menjadi pangdam X/Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan, Amirmachmud juga memprakarsai pembentukan majelis ulama di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Saat itu, Amirmachmud melihat pengaruh ulama jauh lebih besar dibandingkan pengaruh kepala daerah. Lebih besar pengaruhnya daripada kepala desa, camat, bupati, gubernur.

Maka, ketika ia ditunjuk Presiden Soeharto sebagai mendagri, ia membicarakan rencana pembentukan MUI di tingkat nasional dengan Menteri Agama Mukti Ali. Pembicaraan dilakukan beberapa kali, baik di kantor maupun di rumah Mukti Ali.

M Natsir, Kasman Singodimejo, Hamka, Zukri Gozali, Hasan Basri, dan sebagainya hadir saat AMirmachmud membicarakannya di rumah Menteri Agama. Amirmachmud membuka pembicaraan mengenaiperlunya pembentukan MUI yang bersifat nasional. Tidak lagi kedaerahan seperti di Kalimantan Selatan dan DKI Jakarta. Di forum inilah Natsir dan Kasman menyampaikan keberatannya.

Amirmachmud mengutip hadis mengenai pentingnya kerja sama ulama dan umaro untuk memperkuat argument pembentukan MUI. Pembentukan MUI ia sebut sebagai upaya meningkatkan kerja sama ulama dan pemerintah untuk pembangunan nasional. Bukan sebagai upaya pemerintah mengendalikan kegiatan keagamaan. Natsir dan Kasman menyetujui argumen ini.

Tetapi ide pembentukan MUI baru dilontarkan ke publik pada saat Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI) bermuktamar pada 1975. Di muktamar inilah, Amirmachmud melontarkan kembali ide pembentukan MUI ke publik.

Presiden Soeharto menyetujui usulan itu. Dibentuklah tim dari Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama. Tugasnya menyusun struktur organisasi, prosedur, dan sekretariat jenderal. Surat Kerputusan Bersama Mendagri dan Menag mengesahkan hasil rumusan tim.

Saat muktamar di Balai Sidang Jakarta untuk peresmian pembentukannya, hadir Ali Murtopo, Amir Murtono, Sapardjo, dan tokoh Orde Baru lainnya. Hamka menjadi ketua MUI dengan pembina Mendagri, Menag, Mendikbud, serta beberapa ulama . MUI mendapatkan kewibawaaan besar karena para ulama-ulama yang tergabung di dalamnya.

Tujuan MUI adalah memelihara kerukunan hidup beragama dan kerja sama ulama umaro. Meski menyatakan tak ada maksud mengendalikan kegiataan keagamaan, Amirmachmud menegaskan, “Kepentingan Departemen Dalam Negeri dalam pembentukan MUI itu jelas, yaitu pembinaan politik.”

Sebagai pembina politik, Mendagri berkepentingan menyampaikan ajaran Pancasila. Menjadi pembina politik membuat ia leluasa menyampaikan pemikirannya tentang Pancasila di kesempatan yang bagus di Munas MUI. “Inti permasalahan pembangunan politik dalam kalangan umat beragama saya kira adalah, selain memupuk toleransi dalam kalangan sendiri, juga usaha menghilangkan keraguan atas Pancasila dan kebijakan-kebijakan pemerintah,” kata Amirmachmud di Munas MUI 1982.

Di masa itu, Pancasila masih menjadi persoalan. Apalagi di awal ia menjabat mendagri, banyak daerah memiliki peraturan yang ia sebut “berbau Piagam Jakarta”. Tak perlu heran, sebab, di saat UUD 45 dibahas pada 18 Agustus 1945 –setelah tujuh kalimat di Pembukaan UUD 1945 dihilangkan, pembahasan UUD itu dinyatakan bersifat sementara. Akan ada waktu lagi untuk membahas lagi UUD. Tapi, hal itu tidak terlaksana, karena Konstituante tak berhasil membuat keputusan sampai akhirnya dibubarkan Sukarno.

Di rapat Konstituante 1957, Kasman Singodimejo mengingatkan kembali gigihnya Ki Bagus Hadikusumo, ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mempertahankaan sila pertama Pancasila di Piagam Jakarta. Tak ada yang bisa melululuhkan hati Ki Bagus. Tidak Bung Karno, tidak pula Bung Hatta.

“Sampai-sampai Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr Teuku Mohammad Hasan sebagai putra Aceh menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna menenteramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan enam bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam Undang-Undang Dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo itu untuk menanti,” tutur Kasman di sidang Konstituante.

Tapi Teuku Mohammad Hasan juga tak berhasil membujuk Ki Bagus. Kasmanlah yang kemudian meluluhkannya, berbekal jaminan pembahasan lagi enam bulan kemudian yang disampaikan lewat Teuku Mohammad Hasan, sehingga Ki Bagus bersedia menyetujui sila pertama diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Setelah mengingatkan kompromi itu, Kasman menanyakan tempat yang tepat menyampaikan tuntutan pemenuhan janji pembahasan kembali UUD itu. “Saudara Ketua, jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami golongan Islam telah di-fait-a-compli-kan dengan suatu janji dan/atau harapan dengan menantikan waktu enam bulan, menantikan suatu Majelis Permusyawaratan untuk membuat Undang-Undang Dasar yang baru yang permanen, Saudara Ketua, janganlah kami golongan Islam di Dewan Konstituante sekarang ini di-fait-a-compli-kan lagi dengan anggapan-anggapan semacam: diganggu-gugat! Sebab fait-a-compli semacam itu sekali ini, Saudara Ketua, hanya akan memaksa dada meledak,” ujar Kasman di buku biografinya, Hidup Itu Berjuang.

Sukarno kemudian membubarkan Konstituante melalui dekrit. Lewat dekrit itu pula ia menyatakan kembali ke UUD 1945 dan Piagam Jakarta menjadi rangkaian kesatuan dengan UUD 1945: Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.

Kendati begitu, ketika memulai menjadi mendagri, Amirmachmud pun mencoba menghilangkan peraturan-peraturan daerah yang “berbau Piagam Jakarta” itu. Tindakannya menghapus peraturan daerah “berbau Piagam Jakarta” di awal ia menjabat Mendagri tentu mendapat kecaman. Ia disebut sebagai buldozer. “Seolah-olah saya adalah mesin politik yang tidak berjiwa. Tentu ini keliru,” tegas Amirmachmud.

Priyantono Oemar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement