REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sayyidah Zainab binti Rasulullah SAW merupakan putri Nabi Muhammad SAW. Di antara sekian putra putri Nabi, boleh dikatakan Sayyidah Zainab merupakan putri yang berbakti, namun memiliki suami yang belum memeluk Islam.
Mengapa dibolehkan? Sayyidah Zainab lahir di Makkah sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, tepatnya tahun sebelum Hijriyah yang kala itu Nabi berusia 30 tahun. Dalam buku Ensiklopedia Wanita Alquran karya Imad Al-Hilali dijelaskan setelah dewasa Sayyidah Zainab dilamar oleh putra bibinya, yakni Abu Al-Ash bin Al-Rabi.
Sosok pria yang melamarnya ini adalah tokoh Makkah terpandang baik dalam urusan harta, kejujuran, keistiqamahan, serta bisnis. Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus pun, Sayyidah Zainab dilamar olehnya.
Sayyidah Zainab sendiri beriman dan masuk Islam sejak wahyu diturunkan kepada ayahnya. Berbeda dengan Sayyidah Zainab, suaminya, Abu Al-Ash tetap dalam kemusyrikannya. Kendati demikian, dia tetap tinggal bersama suaminya.
Sebab, saat itu Islam belum memerintahkan suami-istri berpisah, kecuali beberapa tahun setelah peristiwa hijrah. Namun, pada saat perang Badar, suami Sayyidah Zainab Abu Al-Ash bergabung dengan pasukan orang-orang musyrik. Maka, begitu perang usai, suaminya dimasukkan dalam barisan tawanan perang.