REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi merasa pelibatan TNI dalam urusan sipil sulit dihilangkan 100 persen. Menurutnya, hal ini merupakan dilema penyelenggaraan pemerintah.
Pernyataan Khairul menanggapi kisruh operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat Kabasarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi sebagai tersangka. Kasus itu membuat penempatan TNI aktif di lembaga sipil kembali dipertanyakan.
Khairul menjelaskan secara normatif dwifungsi TNI memang sudah dihapus seiring reformasi dan berlakunya UU 34/2004 tentang TNI. Namun pada kenyataannya, praktik-praktik pelibatan TNI dalam urusan-urusan sipil tak sepenuhnya dapat ditiadakan.
Pasal 47 UU TNI sebenarnya hadir dalam rangka memberi batasan yang jelas mengenai penempatan prajurit pada jabatan sipil. Ayat 1 tegas menyatakan pada dasarnya prajurit tidak boleh memegang jabatan sipil kecuali dia mengundurkan diri atau pensiun. Kemudian ayat 2 memberi afirmasi. Ada sejumlah kementerian dan lembaga yang dibolehkan untuk diisi prajurit aktif.
"Terutama karena urusannya dinilai berkaitan, beririsan atau membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif. Ayat itu lantas merinci secara jelas, kementerian dan lembaga mana saja yang boleh," kata Khairul dalam keterangannya, Jumat (4/8/2023).
Belakangan, karena kebutuhan dan amanat undang-undang, terbentuklah sejumlah lembaga baru. Perubahan nomenklatur lembaga maupun penambahan unit kerja lembaga ini ada yang urusannya beririsan dan berkaitan dengan tugas dan fungsi TNI.
"Akibatnya, pasal 47 tidak lagi memadai sebagai alas hukum penempatan prajurit," ujar Khairul.
Untuk mengatasinya, pemerintah memayungi melalui sejumlah peraturan di bawah UU. Namun menurut Khairul hal itu hanya bersifat sementara. Sehingga perubahan pasal 47 menurutnya menjadi salah satu yang harus dilakukan dalam kerangka perubahan UU 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Khairul mengamati wacana perubahan isi Pasal 47 sebagaimana yang beredar itu sudah mengakomodasi secara rinci, kementerian dan lembaga yang dapat (bahkan sudah berjalan) diisi oleh prajurit aktif. Ada 18 dari sebelumnya 10 kementerian dan lembaga yang diduduki TNI aktif.