REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) saat ini tengah menyempurnakan alat ukur potensi kerentanan individu terhadap paham radikal ekstremisme.
Salah satu bentuk penyempurnaan yang dilakukan adalah memastikan variabel instrumen dapat menunjukkan fase atau level keterpaparan seseorang.
"Variabel yang harus kita teliti adalah tingkat toleransi, tingkat radikalisme, bahkan tingkat potensinya untuk melakukan aksi teror. Berangkat dari variabel ini, instrumen ini harus bisa menunjukkan di fase atau di level mana individu tersebut," jelas Kepala BNPT RI Komjen Pol Prof Rycko Amelza Dahniel, dalam kegiatan Asesmen Wawasan Kebangsaan, di Kantor Pusat BNPT RI Sentul, Bogor, (10/8/2023).
Kepala BNPT RI juga menjelaskan penyempurnaan alat ukur potensi kerentanan individu terhadap paham radikal ekstremisme juga sangat krusial untuk menyaring calon-calon pemimpin bangsa terbaik "Kita memerlukan alat ukur ini, untuk melihat calon-calon pemimpin bangsa," tambahnya.
APSIFOR ( Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia ), pihak yang bekerjasama dalam pembuatan alat ukur ini menjelaskan bahwa sebelumnya telah melakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen tersebut di delapan kota pada wilayah Indonesia bagian barat, tengah dan timur.
"Sebelumnya kami telah melakukan uji validitas dan reliabilitas di 8 kota perwakilan Indonesia barat, tengah dan timur," ujar Dewan Pertimbangan APSIFOR, Reni Kusumowardhani, M Psi.
Adapun hasil pengukuran dari instrumen ini akan mengkategorikan skor yang diperoleh subjek dalam 6 kategori risiko radikal ekstrem mulai dari berisiko tinggi sampai rendah. Sebelumnya, BNPT RI telah memperkenalkan alat ukur ini pada 4 Oktober 2022.
Sebelumya, Rycko juga menjelaskan fenomena penurunan serangan teror dari 2018 sampai dengan 2022 seperti teori gunung es dimana kini kelompok penganut paham kekerasan tidak lagi secara terang-terangan menunjukkan eksistensinya melalui serangan fisik, tetapi melalui pendekatan lunak yang dibungkus dengan narasi dan simbol keagamaan.
Baca juga: Ketika Berada di Bumi, Apakah Hawa Sudah Berhijab? Ini Penjelasan Pakar
Komjen Rycko mengatakan tidak sedikit masyarakat yang terhasut dengan narasi tersebut, bahkan secara sadar setuju untuk melakukan kekerasan atas nama agama.
Dia menegaskan bahwa tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan dan intoleransi. “Tidak ada agama satupun yang mengajarkan tentang kekerasan, yang tidak bisa menerima perbedaan,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Mantan Kalemdiklat Polri tersebut mengatakan kerja sama merupakan kunci untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme. Oleh karena itu, seluruh unsur di negeri ini harus terlibat dalam pencegahan.