REPUBLIKA.CO.ID, YANGON – Setidaknya 34 orang hilang dalam insiden tanah longsor di sebuah tambang batu giok di Myanmar, Ahad (13/8/2023) sore waktu setempat. Hingga Senin (14/8/2023), regu penyelamat masih melakukan operasi pencarian para korban.
Insiden tanah longsor terjadi di Hpakant, sebuah kota pegunungan terpencil yang berada di Negara Bagian Kachin. Area tersebut merupakan pusat tambang batu giok terbesar dan paling menguntungkan di dunia. Menurut pemimpin regu penyelamat, lebih dari 30 penambang tersapu ke danau ketika tanah longsor terjadi di dekat desa Manna pada Ahad lalu, sekitar pukul 15:30 waktu setempat.
Pemimpin regu penyelamat itu enggan mengungkap identitasnya karena khawatir ditangkap militer Myanmar. Dia mengatakan, ketika longsor terjadi, tanah dan puing-puing dari beberapa tambang di dekat desa Manna meluncur 304 meter menuruni tebing ke danau di bawahnya, lalu menggulung para penambang di sekitarnya.
Sejauh ini sebanyak 34 orang dipastikan hilang. Proses pencarian terhadap mereka masih berlangsung. Terdapat pula delapan penambang yang terluka. Mereka sudah dibawa ke rumah sakit setempat untuk memperoleh dan menjalani perawatan.
Insiden longsor yang memakan korban penambang batu giok di Myanmar biasanya terjadi dalam skala lebih kecil dan jarang mendapat perhatian. Para korban sering kali penambang independen. Mereka beroperasi di bekas galian raksasa yang digali alat berat oleh perusahaan pertambangan. Oleh sebab itu area mereka menambang terbilang tak stabil.
Pada Juli 2020, setidaknya 162 orang tewas akibat tanah longsor di kawasan yang sama, yakni Hpakant. Pada November 2015, insiden serupa juga pernah terjadi dan menelan 113 korban jiwa.
Aktivis-aktivis hak asasi manusia mengatakan, penambangan batu giok merupakan sumber pendapatan penting bagi junta militer Myanmar. Kelompok penentang peraturan militer menganjurkan sanksi dan boikot untuk mengurangi penjualan batu giok.
Tambang juga merupakan sumber pendapatan utama bagi Tentara Kemerdekaan Kachin, sebuah kelompok etnis bersenjata yang berbasis di Negara Bagian Kachin. Mereka telah mengangkat senjata selama puluhan tahun melawan pemerintah pusat untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar.
Gencatan senjata di Kachin terganggu sejak militer Myanmar mengkudeta pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi pada Februari 2021. Wilayah tersebut kini dilanda konflik bersenjata antara militer Myanmar dan Tentara Kemerdekaan Kachin. Pertempuran telah mendorong banyak warga sipil ke kamp-kamp pengungsi dan kota-kota terdekat.