Selasa 22 Aug 2023 16:10 WIB

Anggota DPRD Nilai IPM Masih Jadi PR Pembangunan di Jabar 

IPM Jabar hingga akhir 2022 masih berada di peringkat ke-10 secara nasional. 

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Anggota Komisi IV Daddy Rohanady.
Foto: Dedi Junaedi/Republika
Anggota Komisi IV Daddy Rohanady.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pembangunan di Jabar hingga saat ini masih banyak menunggak pekerjaan rumah (PR) yang harus dibenahi. Karenanya, beberapa masalah harus menjadi agenda pembangunan Jabar ke depan. 

"IPM memang menjadi salah satu tolok ukur yang lagi-lagi suka tidak suka dan mau-tidak mau harus menjadi target pembangunan Jabar," ujar Anggota DPRD Jabar Daddy Rohanady,  kepada Republika, Selasa (22/8/2023).

Menurut Daddy, IPM Jabar hingga akhir 2022 masih berada di peringkat ke-10 secara nasional. Itu berarti masih banyak PR yang harus dikerjakan, apakah itu terkait dengan pendidikan, kesehatan, laju pertumbuhan ekonomi, maupun bidang-bidang lainnya.

"Masih banyak PR lain yang tidak kalah penting untuk diselesaikan oleh siapa pun gubernurnya, juga jajarannya, dan termasuk para anggota dewannya. Misalnya, terkait nilai tukar petani (NTP) dan tingkat pengangguran terbuka (TPT). Mengapa demikian? Ketiga tolok ukur tersebut sangat berpengaruh pada persentase penduduk miskin Jabar," paparnya.

Hingga akhir tahun 2022, kata dia, misalnya, NTP Provinsi Jabar adalah 99,75 persen. Artinya, menjadi petani di Jabar belum menjadi pilihan yang menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga secara ekonomis. 

Namun, kata dia, kehidupan petani di Jabar belum sebaik yang diharapkan oleh banyak dari mereka yang menjatuhkan pilihan profesinya dengan menggarap sawah. Padahal, mereka telah berkontribusi pada ketersediaan dan kecukupan pangan kita.

Demikian pula, kata dia, dengan TPT. Meskipun sudah tereduksi sebesar 1,51 persen, hingga akhir 2022 TPT Provinsi Jabar masih 8,31 persen. Dengan kondisi seperti itu, masih ada sedikitnya 4 juta masyarakat Jabar yang menjadi pengangguran terbuka. 

Bisa dipastikan, kata dia, mayoritas dari para pengangguran itu adalah mereka yang berada di usia produktif. Artinya, sekian banyak potensi yang tidak tersalurkan. Padahal, bisa jadi dari tangan dan pemikiran mereka akan lahir berbagai karya yang dapat membanggakan. Baik untuk Jabar pada khususnya maupun nasional pada umumnya.

"TPT dan NTP sangat berpengaruh pada besaran persentase penduduk miskin," katanya.

Hingga akhir 2022, kata dia, persentase penduduk miskin Jabar adalah 7,98 persen. Padahal, pada tahun 2022 Jabar menjadi penyerap penanaman modal asing (PMA) terbesar secara nasional. Dari total PMA yang diserap Indonesia pada tahun 2022 yang mencapai Rp 826 triliun, Jabar menyerap PMA sebesar Rp 175 triliun.

Serapan PMA sebesar itu, kata dia, semestinya mampu mereduksi TPT dengan menyediakan berjuta lapangan kerja. Besar kemungkinan PMA yang masuk ke Jabar adalah penanaman modal yang padat modal, bukan padat karya.

"Ketidaksinkronan itu menunjukkan bahwa masih ada yang kurang sinkron dengan kondisi eksisting," katanya.

Dengan jumlah penduduk terbanyak secara nasional, kata dia, ada salah satu klausul menarik dalam Perda Nomor 9 Tahun 2022 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat. Perda tersebut mencantumkan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B) seluas 735.320 hektare. 

"Luas tersebut diperhitungkan hasilnya melebihi kebutuhan pangan (beras) penduduk Jabar," katanya.

Hal ini, kata dia, bukan tanpa alasan. Fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa hingga akhir tahun 2022 Jabar masih menjadi lumbung padi nasional. Betapa tidak, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Subang merupakan tiga kabupaten penghasil padi terbesar secara nasional.

Artinya, Jabar merupakan provinsi yang berkontribusi pada ketersediaan dan kecukupan pangan secara nasional. "Dengan kondisi Jabar yang strategis membuat setiap langkah pembangunan pun menjadi sangat kompleks," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, setiap kebijakan yang diambil haruslah dengan pertimbangan yang komprehensif. Pada praktiknya, bukan hanya kepentingan Jabar yang mesti dicapai, kepentingan nasional pun mesti tetap diperhatikan. Memang semua pembangunan pasti ada plus-minusnya.

"Salah satunya, alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan termasuk hal yang tidak mungkin dapat dihindari. Yang paling utama adalah apakah alih fungsi lahan itu menjadi lebih produktif atau sebaliknya. Apakah alih fungsi lahan terjadi pada lahan-lahan sawah beririgasi teknis, misalnya, atau pada lahan-lahan kritis yang dijadikan bagian dari lahan pertanian baru," katanya. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement