Rabu 23 Aug 2023 05:04 WIB

Kurangi Pupuk Kimia, Petani Juwiring Terapkan Pertanian Sehat

Ada 17 hektare tanah pertanian di Juwiring yang menerapkan praktik pertanian sehat.

Rep: Agus Raharjo/ Red: Gita Amanda
Para petani di Desa Juwiring, Kabupaten Klaten, sedang memanen tanaman padi hasil pertanian sehat menggunakan pupuk organik.
Foto: Agus Raharjo/REPUBLIKA
Para petani di Desa Juwiring, Kabupaten Klaten, sedang memanen tanaman padi hasil pertanian sehat menggunakan pupuk organik.

REPUBLIKA.CO.ID, Titik Eka Sasanti ingat betul bagaimana dua tahun lahan pertanian di Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten tak bisa panen sebelum 2014. Selama dua tahun, para petani tak bisa mengharapkan hasil padi mereka. Padahal, wilayah Juwiring menjadi daerah paling dekat dengan Sungai Bengawan Solo.

Direktur Gita Pertiwi ini mulai menjadi mitra para petani Juwiring untuk menerapkan praktik pertanian sehat sejak 2014. Awalnya, para petani di wilayah Juwiring diajak belajar mengendalikan hama endemik, tikus wereng. Yakni, dengan membangun rumah burung hantu (rubuha).

Baca Juga

Menurut Titik, saat ini, dari 166 unit rubuhan yang sudah dibangun, masih ada 122 unit yang berfungsi. Bahkan, kini banyak pemerintah desa menyiapkan anggaran hingga Rp 5 juta per tahun untuk membuat rubuha di wilayahnya masing-masing. 

“Pada akhirnya, tahun 2017 petani mulai panen. Setelah itu, kita mulai mengkreasi pasar beras sehat,” tutur Titik, ditemui di Juwiring, Klaten, beberapa waktu lalu. Beras sehat memang diterapkan di wilayah hilir DAS Pusur, terutama di Juwiring. Tercatat, pada 2021 hingga tahun ini, ada 17 hektare tanah pertanian yang menerapkan praktik pertanian sehat.

Praktik ini tidak mengandalkan pupuk kimia sebagai penyuplai nutrisi tanaman. Petani lebih mengandalkan pestisida nabati (pesnab) yang berasal dari bahan alami dan mudah ditemui, seperti kulit pisang atau buah mojo. “Ada peningkatan rerata 1 ton per hektare. Dulu biaya produksi bisa Rp 1,3 juta per hektare, sekarang hanya Rp 600 ribu per hektare, jadi turun 50 persen,” ujar Titik.

Meskipun ada penurunan pada biaya pestisida kimia menjadi nabati, namun, ada peningkatan pada upah pekerja. Sebab, menggunakan pesnab membuat gulma yang ada di lahan pertanian lebih cepat tumbuh. Titik mengaku, selain mengubah persepsi soal pertanian sehat, saat ini, petani di Juwiring sebagaian besar juga memahami bertani tak harus membutuhkan air terus menerus.

“Sekarang persepsi petani sudah berubah, padi bukan tanaman yang menyerap air sangat banyak. Ada jadwal pembagian air, masyarakat sudah mulai paham,” ujarnya. 

photo
Salah satu petani yang mempraktikkan sistem pertanian sehat, Sugiarti menunjukkan beras hasil panennya di Desa Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. - (Agus Raharjo/REPUBLIKA)

 

Salah satu petani yang mempraktikkan sistem pertanian sehat, yakni Sugiarti. Perempuan asal Desa Juwiring ini mengaku sudah tidak menggunakan pestisida kimia untuk mengatasi hama dan memberi nutrisi tanaman padinya. Ia membuat pesnab dari pupuk organik cair (POC) dari bahan yang mudah didapat dan murah.

Sugiarti mengaku sistem pertanian sehat juga memungkinkan petani tidak tergantung pada pupuk subsidi dari pemerintah. Ia mengatakan, padi yang ditanamnya sudah menggunakan nutrisi susu, madu, dan telur. Dalam satu pathok lahan atau sekitar 2.200 meter, bisa menghabiskan tiga tangki POC. 

“Satu tangki POC, dibuat dari satu saset susu putih kental manis, satu butir kuning telur, dan satu saset madu. Jadinya dikali tiga,” tutur Sugiarti membagikan pengalamannya membuat POC untuk tanaman padi. Kini, selain membuat POC untuk lahan pertaniannya sendiri, petani di Juwiring juga menghasilkan pesnab dan POC yang bisa dijual. 

Dengan bahan sederhana itu, Sugiarti mengaku bisa menurunkan biaya produksi. Selain itu, hasil pertanian juga diklaim lebih bagus. “Berasnya lebih enak, lebih pulen dan lebih tahan lama. Tiga hari tidak basi. Kalau basi silakan cari saya,” tutur dia menegaskan.

Selain menggunakan bahan seadanya, petani di wilayah Juwiring juga mulai menanam buah mojo. Buah ini juga bisa menjadi bahan untuk membuat pupuk organik cair. Bagi Sugiarti, menanam buah mojo berarti memikirkan pupuk untuk generasi mendatang. 

Ia mengaku tak ingin bergantung pada pupuk kimia yang harganya mahal. Meskipun ada subsidi pupuk dari pemerintah, Sugiarti mengaku jumlahnya saat ini dibatasi. “Mudah-mudahan, pertanian seperti ini bisa diteruskan untuk anak cucu kita,” tutur Sugiarti.

Direktur Sustainable Development Danone Indonesia Karyanto Wibowo mengaku pihaknya bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gita Pertiwi, mendampingi petani untuk mengurangi ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida kimia. Langkah ini sebagai upaya menekan pencemaran air sungai dan menjaga kualitas air di wilayah hilir DAS Pusur.

Selain itu, di bagian hilir perseroan membentuk Forum Relawan Irigasi (FRI) yang melakukan pembersihan sedimen dan sampah di saluran irigasi primer, sekunder, dan tersier untuk memastikan air dapat terdistribusi dengan baik, sampai ke wilayah hilir yang memiliki panjang hingga 3,6 km.

"Program kolaborasi ini bertujuan untuk mengelola jaringan irigasi seluas 300 hektare atau 53 persen dari wilayah hilir DAS Pusur yang tidak mendapatkan aliran irigasi. Kerja sama Danone-AQUA dengan Jogo Toya Kamulyan ini membantu petani dalam irigasi lahan pertanian dengan melakukan perbaikan 7.786 m saluran, 22 pintu air,” ujar Karyanto dalam keterangan yang diterima Republika.

Lebih lanjut, perseroan telah mengaktifkan Sekolah Lapangan bagi 135 petani di enam desa. Tujuannya antara lain untuk membantu pengadaan fasilitas penangkaran benih lokal, membantu produksi pestisida nabati, serta membantu produksi agensia hayati, dan museum pertanian.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement