REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, menyatakan, perlu ‘ongkos’ yang mahal jika hendak menjadikan sekolah sebagai ajang kampanye politik. Sebab, terdapat ‘learning loss’ yang terjadi selama dua tahun pandemi Covid-19 yang harus dikejar oleh para peserta didik dan tenaga pendidik di sekolah.
“Ini ongkos yang mahal jika kita kemudian harus menjadikan sekolah sebagai ajang kampanye politik. Biarlah guru-guru bekerja memulihkan keadaan untuk mengantar siswa-siswanya belajar sesuai dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri,” ujar Muhadjir dalam keterangannya, Selasa (29/8/2023).
Muhadjir juga merasa penyelenggaraan kampanye di sekolah akan menimbulkan permasalahan yang lebih rumit mengingat kesiapan para siswa dan sekolah dalam penyelenggaraan kampanye. Pengelolaan sekolah yang menjadi wewenang konkuren dari pemerintah daerah pun turut menjadi salah satu alasannya.
“Ini akan rumit, kita tahu masing-masing kepala daerah memiliki corak warna bendera masing-masing, bisa dibayangkan akan serumit apa nanti pengaturan beserta pencegahan yang harus dilakukan. Belum lagi sekolah Madrasah dan Aliyah yang menjadi wewenang Kementerian Agama,” ujar Muhadjir.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu mengatakan, penyelenggaraan di sekolah tersebut berbeda dengan kampus. Menurut dia, kampus sebagai lembaga akademik akan mampu membuka ruang diskusi yang sehat dan terbuka, dalam kaitanya dengan berbagai program dan gagasan dari masing-masing calon untuk kepentingan bangsa dan negara.
“Saya kira 100 persen dari mereka (mahasiswa) sudah memiliki hak pilih. Selama kampus dapat menjaga kondusivitasnya, saya kira itu memungkinkan,” kata dia.
Sebagaimana diketahui, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang merevisi materi Pasal 280 ayat (1) huruf h UU tentang Pemilu menjadi polemik baru di tengah arus perbincangan Pemilu 2024. Putusan MK itu memperbolehkan lembaga pendidikan dijadikan sebagai salah satu tempat untuk berkampanye.