Kamis 07 Sep 2023 09:05 WIB

Isu Sanksi Perang Rusia Perdalam Perpecahan Negara G20

Sanksi terhadap Rusia memperdalam perpecahan di antara negara-negara Kelompok 20

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Siswa Sekolah Seni Gurukul memperlihatkan gambar potret kepala negara G20 untuk KTT G20 mendatang, di Mumbai, India, Selasa (5/8/2023).
Foto: EPA-EFE/DIVYAKANT SOLANKI
Siswa Sekolah Seni Gurukul memperlihatkan gambar potret kepala negara G20 untuk KTT G20 mendatang, di Mumbai, India, Selasa (5/8/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS), Janet Yellen, menghadapi skeptisisme yang semakin besar dari beberapa negara maju dan berkembang. Hal ini disebabkan sanksi terhadap Rusia memperdalam perpecahan di antara negara-negara Kelompok 20 (G20).

Ketika para pemimpin dunia dan menteri keuangan bertemu pekan ini di India untuk KTT G20, perpecahan mulai terlihat. Sementara aliansi beberapa negara yang telah lama menolak upaya pimpinan AS untuk menjatuhkan hukuman ekonomi terhadap Moskow atas perang di Ukraina, tampak makin erat.

Baca Juga

Amerika Serikat dan sekutunya di antara negara-negara industri besar Kelompok Tujuh (G7) bersikeras bahwa, sanksi dan pembatasan harga minyak Rusia telah berhasil membatasi pendapatan bagi perekonomian Rusia. Kendati demikian, perekonomian Rusia tumbuh, sebesar 4,9 pesen pada kuartal kedua 2023.

Sementara itu, Rusia dan Cina telah mendeklarasikan kemitraan “tanpa batas”. Sementara blok ekonomi Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, yang dikenal sebagai BRICS, berupaya meningkatkan penggunaan mata uang lokal dibandingkan dolar AS.  Hal lain yang terlihat pada KTT G20 adalah meningkatnya kedekatan hubungan AS-India sehubungan dengan kekhawatiran bersama mengenai ketegasan militer dan ekonomi Cina.

Saat Presiden Joe Biden dan Yellen mengunjungi New Delhi, mereka harus menghadapi lingkungan ekonomi dan politik yang lebih terfragmentasi, selama negosiasi yang sulit mengenai pengamanan pasokan pangan dan energi untuk negara-negara berkembang. Kunjungan Yellen terjadi tak lama setelah Presiden Rusia, Vladimir Putin mengatakan, perjanjian penting yang memungkinkan Ukraina mengekspor gandum dengan aman melalui Laut Hitam selama perang tidak akan dilaksanakan sampai negara-negara Barat memenuhi tuntutannya terhadap permintaan Moskow untuk mengekspor pertanian sendiri.

Putin mengatakan, perjanjian paralel yang menjanjikan untuk menghilangkan hambatan terhadap ekspor pangan dan pupuk Rusia belum dipenuhi. Para pejabat Rusia juga mengeluhkan pembatasan pengiriman dan asuransi yang menghambat perdagangan pertanian mereka. Rusia berharap dapat menggunakan kekuasaannya atas ekspor Ukraina ke Laut Hitam sebagai alat tawar-menawar untuk mengurangi sanksi Barat.

“Saya pikir, kombinasi berbagai faktorlah yang menyulitkan G20 untuk bekerja sama seperti yang mereka lakukan di masa lalu,” kata Rachel Ziemba, asisten senior di Center for a New American Security.

Ziemba mengatakan, beberapa faktor tersebut antara lain perang di Ukraina, serta penggunaan mata uang dan komoditas sebagai senjata. “Hal yang saya bayangkan bisa mereka dapatkan adalah pentingnya mengalirkan energi dan pangan serta masalah ketahanan pangan lainnya bagi negara-negara berkembang,” ujar Ziemba.

AS akan menekankan konsekuensi perang...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement