REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini, Indonesia sedang berhadapan dengan kondisi pascapandemi, yakni lebih banyak masyarakat mencari pengobatan atau meningkatnya permintaan perawatan di Rumah Sakit. Menurut Asia Pacific Personal Habits Survey 2022, peningkatan ini dilatarbelakangi oleh gaya hidup masyarakat selama pandemi yang tidak sehat, khususnya pada Gen Z dan milenial. Kondisi ini meningkatkan timbulnya penyakit seperti obesitas maupun penyakit metabolik.
Penundaan pengobatan yang dilakukan masyarakat selama pandemi berdampak buruk terhadap penyakit yang sedang diderita sehingga memperparah penyakit dan membutuhkan biaya yang lebih besar. Di sisi lain, fakta yang juga sedang dihadapi saat ini adalah adanya kondisi biaya kesehatan yang terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan melonjaknya kebutuhan masyarakat untuk berobat ke fasilitas kesehatan.
Certified Financial Planner (CFP) Perencana Keuangan & Founder mengingatkan bahwa mengelola keuangan dengan baik adalah cara yang paling utama dalam menyiasati kenaikan biaya medis. Saat ini, kata dia, masyarakat perlu mengatur budget dan membuat pos-pos kebutuhan untuk menjaga kesehatan setiap bulannya.
"Termasuk menebalkan dana darurat, masyarakat juga harus memastikan diri dan keluarga terdaftar menjadi peserta Program Jaminan Kesehatan yang aktif seperti BPJS, dan juga melakukan evaluasi berkala terhadap kondisi kesehatan (Medical Check Up) dan keuangan (Financial Check Up) maupun produk-produk asuransi yang dimiliki," ujar Metta dalam Media Workshop bertajuk ‘Biaya Medis Naik Terus, Apa yang Sebaiknya Dilakukan?’ yang digelar oleh Allianz Indonesia secara daring, Rabu (13/9/2023).
Sebagai informasi, meningkatnya biaya kesehatan ini dipengaruhi oleh inflasi medis, seperti diungkapkan oleh Survei Mercer Marsh Benefits (MMB) 2021-2023 tentang Estimated Medical Trend Summary yang menjelaskan peningkatan inflasi medis di Indonesia selama tiga tahun terakhir sampai mencapai 13,6 persen pada tahun 2023 dari sebelumnya sebesar 12.3 persen di tahun 2022, lebih tinggi dari proyeksi Asia di angka 11,5 persen. Bahkan angka inflasi medis ini melebihi inflasi ekonomi di angka 3.3 persen per Agustus 2023.
Artinya, inflasi medis mencapai empat kali lipat dari inflasi ekonomi. Selanjutnya tentu saja inflasi ini mempengaruhi biaya operasional, suplai, administrasi dan fasilitas kesehatan.
Namun sayangnya, terjadinya peningkatan biaya medis ini masih belum membuat masyarakat Indonesia menyiapkan sumber pendanaan untuk biaya kesehatan agar tidak menjadi beban pengeluaran pribadi. Terbukti dari data yang dirilis Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), hingga tahun 2019, 61 persen dari total masyarakat Indonesia masih membayar biaya perawatan kesehatan secara mandiri memakai uang pribadi tanpa jaminan dari BPJS maupun asuransi.
Salah satu penyebabnya adalah karena tren kenaikan biaya medis melebihi kenaikan rata-rata gaji masyarakat. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat kenaikan tahunan rerata gaji karyawan sebesar 1,8 persen. Sangat jauh jika dibandingkan dengan proyeksi inflasi ekonomi pada tahun 2023 yang mencapai 3,5 persen apalagi inflasi medis yang mencapai 13,6 persen.
Chief Product Officer Allianz Life Indonesia Himawan Purnama mengatakan, dalam menghadapi kenaikan biaya medis masyarakat perlu mempersiapkan yang terbaik, terlebih saat risiko kesehatan datang. Menurutnya, hal yang paling tepat adalah dengan memiliki proteksi tambahan melalui produk asuransi kesehatan.
“Tidak dipungkiri memang perusahaan asuransi cukup terdampak dengan adanya kenaikan biaya medis yang menyebabkan meningkatnya pembayaran klaim secara drastis sehingga perusahaan harus melakukan penyesuaian biaya atau repricing,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa repricing dilakukan dengan melalui berbagai pertimbangan yang menyeluruh dan proses yang panjang. Adapun untuk perubahan produk, termasuk penyesuaian biaya juga melibatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk kepentingan dan keamanan nasabah sesuai dengan peraturan yang berlaku.