Jumat 22 Sep 2023 19:34 WIB

Indonesia Tolak Upaya Separatisme, Benny Wenda Kandas di KTT Negara-Negara Melanesia

Penolakan itu disebabkan perubahan paradigma di kalangan negara-negara Melanesia.

Red: Endro Yuwanto
Gerakan Pemuda Papua Cinta Damai (GPPCD), Gerakan Aktivis Melanesia, serta Pemuda Indonesia Timur menggelar aksi massa 'Papua Bagian NKRI' di depan Istana Negara, Jakarta, belum lama ini.
Foto: Dok. GP
Gerakan Pemuda Papua Cinta Damai (GPPCD), Gerakan Aktivis Melanesia, serta Pemuda Indonesia Timur menggelar aksi massa 'Papua Bagian NKRI' di depan Istana Negara, Jakarta, belum lama ini.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penolakan keanggotaan penuh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dalam KTT Melanesian Spearhead Group (MSG) yang berlangsung pada 23-24 Agustus 2023 di Port Vila, Vanuatu, merupakan kemenangan diplomatik penting yang dicapai Indonesia. Keputusan ini menunjukkan bahwa negara-negara Melanesia dan Pasifik mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua dan menolak upaya separatisme yang dipimpin oleh Benny Wenda.

Pemerhati isu-isu strategis dan global, Prof Imron Cotan, menjelaskan bahwa penolakan tersebut disebabkan oleh perubahan paradigma di kalangan negara-negara Melanesia. Pertama, negara-negara MSG melihat Indonesia sebagai negara besar yang saat ini tidak hanya menjadi pemimpin di sub-kawasan, tapi juga menempati tempat terhormat di kancah pergaulan internasional.

"Indonesia adalah pemimpin di organisasi kawasan ASEAN, ASEAN+10 (mitra bicara), ASEAN+3 (Korsel, Jepang, China), G20, dan juga tamu tetap di forum G7. Peran ekonomi dan politik Indonesia tidak dapat lagi diabaikan," ujar Prof Imron dalam webinar nasional Moya Institute, Jumat (22/9/2023).

Kedua, lanjut Prof Imron, bagi anggota MSG, konfrontasi dengan Indonesia sama sekali tidak menghasilkan apa pun. Saat ini, para pemimpin mereka telah berpikir untuk lebih menarik manfaat dari besarnya pengaruh politik dan ekonomi Indonesia, yang telah melampaui 1 triliun dolar AS. "Bahkan mereka menitipkan aspirasi, terkait isu perubahan iklim dan naiknya permukaan air laut, di forum global seperti G7," ujarnya.

Di sisi lain, Prof Imron menjelaskan, ada kesepahaman bersama di tingkat dunia, khususnya pasca-Covid-19 bahwa semua bangsa harus bekerja sama sesuai aturan yang ada (rules-based) untuk mengatasi tantangan.

"Maka mereka juga mulai menyadari tak bisa menerima ULMWP sebagai anggota tetap MSG karena bukan berbentuk entitas negara berdaulat, selain kontraproduktif dalam konteks kerja sama dengan Indonesia. Definisi negara berdaulat tercantum pada Konvensi Montevideo 1933 yang menyaratkan suatu wilayah hanya dapat disebut sebagai negara berdaulat jika menguasai wilayah dengan batas tertentu, memiliki rakyat, serta mampu menjalin hubungan internasional dengan negara-negara lain," jelas Imron.

Ketua Badan Musyawarah Papua Willem Frans Ansanay mengatakan, penolakan keanggotaan ULMWP merupakan kemenangan bagi Indonesia dan berkontribusi kepada stabilitas di kawasan Pasifik. Oleh karena itu, Indonesia harus terus melanjutkan upaya membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.

Menurut Frans, Indonesia telah melakukan pendekatan komprehensif dengan menekankan pentingnya dialog dan pembangunan di Papua, serta penegakan hukum dan HAM. Dengan demikian, apa pun gerakan yang dilakukan Benny Wenda dan kelompoknya di masa depan tidak akan mencapai tujuannya. "Karena kami juga, warga Papua, bukan bagian dari ULMWP. Itu hanyalah kelompok kecil yang muncul karena sakit hati," ujar dia.

Politikus reformasi Mahfudz Siddiq mengatakan, manuver Benny Wenda hanyalah riak kecil. Meski begitu, Pemerintah Indonesia harus menangani persoalan ini dengan hati-hati karena persoalan Papua bukan hanya masalah domestik, melainkan sudah menjadi isu internasional. "Jika salah menangani, maka akan menjadi bumerang dan menciptakan masalah baru. Sebagaimana kita ketahui, kita masuk forum MSG karena kita tahu ada pihak eksternal yang terlibat dalam isu Papua," ujarnya.

Mahfudz menyarankan Indonesia meningkatkan hubungan diplomatik dengan negara-negara Melanesia. Selain itu, juga melakukan pendekatan budaya, mengingat Indonesia adalah negara yang memiliki etnis Melanesia terbesar di dunia. "Kita punya kehormatan untuk mengembangkan budaya Melanesia. Pendekatan budaya ini menjadi bagian dari diplomasi lunak," cetusnya.

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran, Prof Teuku Rezasyah, mengatakan, pemerintah Indonesia harus meniadakan segala upaya yang dilakukan Benny Wenda, baik di Papua maupun di dunia internasional. Menurut dia, Indonesia juga perlu membangun kerja sama erat dan kesepahaman dengan negara-negara yang memperhatikan Papua secara khusus, seperti Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, China, Vanuatu, dan Uni Eropa. "Penguatan sektor pendidikan dan sumber daya manusia, serta rekrutmen berbasis meritokrasi adalah kunci bagi kesuksesan Indonesia mengatasi isu Papua," jelasnya.

Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, mengatakan, ULMWP adalah organisasi yang didukung oleh kekuatan yang memiliki kepentingan untuk mendestabilisasi Indonesia. Penolakan keanggotaan ULMWP akan membantu mencegah upaya-upaya destabilisasi tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement