REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Botol air minum, alat makan sekali pakai, dan produk plastik lain sering kali tiba di pabrik daur ulang dalam keadaan bercampur dengan limbah lain. Padahal, karena terbuat dari molekul monomer, sampah plastik harus disortir sebelum akhirnya dilebur untuk menciptakan produk baru.
Untungnya, kini ilmuwan dari University of Columbia, menemukan cara baru yang memungkinkan berbagai jenis plastik didaur ulang secara bersamaan. Temuan yang diterbitkan di jurnal Nature ini, dapat memberi harapan baru bagi banyak limbah yang berakhir di tempat pembuangan sampah.
“Sampai sekitar setahun yang lalu, semua orang berpikir satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah mengambil plastik, memecahnya kembali menjadi monomer dan kemudian membentuknya kembali. Sekarang kami telah menemukan cara yang berbeda untuk melakukannya,” kata insinyur kimia di University of Columbia, Sanat Kumar, seperti dilansir Scientific American, Senin (25/9/2023).
Hanya sebagian kecil dari sampah plastik yang didaur ulang, dan produksi plastik baru -yang terbuat dari bahan bakar fosil- pun terus meningkat. Situasi ini mendorong ilmuwan untuk mencari solusi untuk mendaur ulang plastik campuran. Tapi masalahnya, ketika plastik yang berbeda dilebur menjadi satu, berbagai monomernya cenderung terpisah satu sama lain seperti minyak dan air.
Proses baru ini, jelas Kumar, memecahkan masalah itu dengan menambah bahan kimia yang disebut dynamic cross-linkers ke dalam campuran. Seperti halnya sabun yang menyatukan minyak dan air, cross-linkers ini (ketika diaplikasikan di bawah panas) membentuk ikatan molekul kovalen yang mengikat berbagai monomer menjadi satu.
Proses ini menciptakan polimer yang dapat mempertahankan sifat-sifat tertentu yang berguna dari setiap plastik penyusunnya, seperti menjaga agar oksigen atau sinar ultraviolet tidak masuk. Bahan-bahan ini kemudian dapat dilebur dan dibuat ulang lagi dan lagi, karena cross-linkers dapat memecah dan membentuk kembali ikatannya.
"Proses kimia ini adalah langkah yang sangat penting. Mereka menunjukkan bahwa ini dapat diproses secara industri, dan ini sangat menarik,” kata insinyur kimia University of Washington, Julie Rorrer, yang tidak menjadi bagian dari penelitian ini.
Para peneliti berharap, teknik ini pada akhirnya dapat membantu mendaur ulang lebih banyak sampah plastik. Apalagi menurut Kumar, proses ini mengonsumsi lebih sedikit energi daripada memecah plastik menjadi monomer aslinya, meskipun biaya produksinya masih terbilang mahal untuk digunakan secara luas di fasilitas daur ulang yang ada.
“Namun, dengan menunjukkan bahwa proses ini berhasil, maka akan ada pasar yang menguntungkan bagi plastik daur ulang yang lebih murah. Ini membantu para pendaur ulang dalam mengatasi krisis sampah plastik,” tegas Kumar.