REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar kesehatan lulusan Fakultas Kesehatan dan Kedokteran Tropis Universitas Oxford, Inggris, Elizabeth Pisani menyatakan, kualitas obat yang diresepkan dokter menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sama dengan obat non-JKN. "Berdasarkan estimasi yang kami lakukan, 95,1 persen obat yang diteliti di Indonesia memiliki kualitas yang baik dan tidak ada hubungan antara harga dan kualitas. Obat JKN memiliki kualitas yang sama dengan non-JKN," kata Elizabeth dalam diskusi bersama media di Jakarta, Selasa (3/10/2023).
Ia berpesan kepada masyarakat Indonesia untuk menepis persepsi bahwa obat yang mahal akan memberikan kualitas yang baik pula. Sebab, berdasarkan studi yang dilakukannya bersama Universitas Pancasila dan Starmeds, tidak ada kaitan antara harga dengan mutu obat.
"JKN dengan non-JKN, kalau di studi kita, obat non-JKN gagalnya dua kali lipat dibanding JKN. Obat JKN jauh lebih aman dari studi kita. Jangan mikir bahwa dengan beli obat yang mahal untuk gengsi, dan akan dapat obat yang lebih oke, sudah beli yang lebih murah atau yang dijamin JKN saja," ucapnya.
Ia memaparkan, masyarakat tidak perlu mempertanyakan lagi mutu obat JKN, karena semua sudah terstandarisasi oleh formularium nasional.
"Jadi bukan lagi soal mutu obat, tetapi soal seleksi obat, di Indonesia banyak obat yang tidak bisa masuk karena mahal dan belum terevaluasi, batasannya di situ. Kalau sudah masuk JKN itu sudah dievaluasi, yang mesti diperhatikan lebih kepada pemerataan akses JKN dan keberlanjutan Program JKN," tuturnya.
Ia juga menyampaikan kualitas layanan jaminan kesehatan di Indonesia sudah lebih baik dari negara maju seperti Amerika. Akan tetapi jangkauannya perlu lebih diperluas untuk masyarakat di luar Pulau Jawa.
"Jaminan kesehatan sudah lebih bagus dan inklusif di Indonesia, semua wajib ikut. Hanya saja tantangan terbesarnya itu pada pemerataan ke akses layanan kesehatan," katanya.
"Sehingga dari luar negeri kurang mau investasi ke Indonesia, karena mau sebagus apapun asuransinya, kalau akses layanan kesehatannya sulit di suatu wilayah ya percuma," imbuhnya.
Ia berpesan kepada pemerintah, baik Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), lembaga pengadaan obat, maupun Kementerian Perindustrian agar mengawasi penjualan obat yang dilakukan daring (online).
"Yang perlu diperhatikan juga obat yang dijual daring. Kalau obat yang diberi penjual daring yang terverifikasi memiliki kualitas yang sama dengan apotek resmi, tetapi yang dibeli dari penjual tidak terverifikasi cenderung dipalsukan atau memiliki kualitas rendah," katanya.
Sebagai informasi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah membuka usulan bagi para penyedia obat untuk revisi Formularium Nasional pada Mei 2023.
Formularium Nasional berisi daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan digunakan sebagai acuan penulisan resep pada pelaksanaan pelayanan kesehatan dalam program JKN, yang diseleksi secara ketat bagi setiap perusahaan farmasi yang mengusulkan obat yang nantinya akan diresepkan dengan JKN.
Sementara itu Kepala BPOM Penny K Lukito berharap produk obat berbahan alam atau herbal dapat masuk dalam daftar obat rujukan Program JKN yang bisa ditanggung BPJS Kesehatan.
“Harapannya produk obat berbahan alam dapat masuk dalam program JKN,” kata Penny.