REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Setiap kali perang antara Israel dan Hamas meletus, setiap itu pula seruan untuk memboikot produk-produk Israel, atau perusahaan, atau apapun yang berafilisasi ke penjajah zionis itu akan muncul.
Seruan ini muncul karena kebrutalan Israel dalam membombardir rakyat Palestina, karena kebrutalan Israel yang ingin merampas tanah Palestina dengan dalih dijanjikan dalam kitab mereka.
Indonesia, adalah salah satu Negara yang selalu mendukung dalam aksi memboikot produk-produk Israel ataupun yang berafiliasi dengan Israel.
Misalnya saja seruan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada 2016 lalu, yang mengajak masyarakat Internasional untuk memboikot produk-produk Israel dalam sebuah pernyataan bersama Presiden abbas dan Sekjen OKI di JCC.
Seruan boikot ini untuk mengajak dunia internasional agar tidak lagi membeli produk-produk Israel, dengan harapan hal ini bisa menjadi pukulan berat bagi Negara apartheid itu. Cara ini tentu saja akan efektif apabila dilakukan secara masif oleh negara-negara lain, khususnya timur tengah.
Seruan memboikot produk Israel maupun yang berafiliasi dengan Israel pertama kali digaungkan oleh Liga Arab pada 1945. Anggota Liga Arab ini terdiri dari Mesir, Irak, Lebanon, Arab Saudi, Suriah, Yordania, Yaman, Libya, Sudan, Tunisia, Maroko, Kuwait, Al Jazair, Bahrain, Oman, Qatar, Uni Emirat Arab (UEA), Mauritania, Somalia.
Melalui Liga Arab ini mereka sepakat untuk memboikot hubungan ekonomi dan secara khusus menghentikan semua perdagangan dengan Israel. Boikot ini bertujuan untuk melemahkan industri Yahudi di Palestina dan menghalangi migrasi Yahudi ke wilayah tersebut.
Namun sayangnya, beberapa Negara tampaknya sudah melakukan perubahan sikap terhadap Israel. Misalnya saja Mesir, Bahrain, UEA, Sudan, Maroko, Yordania, Mauritania, Aljazair, dan Tunisia. Menandatangani perjanjian damai sama halnya dengan mengakhiri partisipasi mereka dalam memboikot Israel.
Bahkan jauh sebelumnya, yakni pada 1994, setelah Perjanjian Damai Oslo, Dewan Kerjasama negara-negara Arab di Teluk (GCC), mengakhiri partisipasi mereka dalam boikot Arab terhadap Israel.
Langkah ini tentu saja telah mendorong lonjakan investasi di Israel, dan mengakibatkan dimulainya proyek kerja sama bersama antara Israel dan negara-negara Arab.
Saat ini, Suriah dan Lebanon adalah satu-satunya negara Arab yang secara aktif menerapkan boikot utama, meskipun Iran (yang bukan anggota Liga Arab) juga menerapkannya sebagai anggota Organisasi Kerja Sama Islam. Suriah adalah satu-satunya negara yang terus menerapkan boikot sekunder dan tersier.
Kemudian pada 2005, organisasi masyarakat sipil Palestina melakukan mendirikan Gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS). Gerakan ini juga bertujuan untuk memicu respons global untuk menekan Israel dengan membatasi perdagangan produk-produk buatan mereka, dengan tujuan akhirnya mengakhiri penjajahan mereka di Palestina.
Baca juga: Ini Rahasia Mengapa Huruf Alif dalam Alquran Bentuknya Tegak Lurus
Dilansir dari BDS Movement, Ahad (15/10/2023), BDS terdiri dari 170 serikat pekerja Palestina, jaringan pengungsi, organisasi perempuan, asosiasi profesional, komite perlawanan rakyat dan badan masyarakat sipil Palestina lainnya. BDS menjunjung tinggi prinsip sederhana bahwa warga Palestina berhak atas hak yang sama seperti umat manusia lainnya.
Meski semula ini adalah gerakan lokal, namun BDS kini menjadi gerakan global yang dinamis yang terdiri dari serikat pekerja, asosiasi akademis, gereja, dan gerakan akar rumput di seluruh dunia.
Baca juga: Lokasi yang akan Menjadi Pertarungan Antara Nabi Isa dan Dajjal Kelak
Sejak diluncurkan pada 2005, BDS telah memberikan dampak besar dan secara efektif menantang dukungan internasional terhadap apartheid Israel dan kolonialisme pemukim.
Selama hampir tujuh puluh tahun, Israel telah mengabaikan hak-hak dasar warga Palestina dan menolak mematuhi hukum internasional. Israel mempertahankan rezim kolonialisme pemukim, apartheid dan pendudukan atas rakyat Palestina.
Hal ini terjadi karena dukungan internasional...