REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menegaskan tetap akan berada di Koalisi Indonesia Maju (KIM) meskipun pada akhirnya bakal calon presiden Prabowo Subianto menggandeng Gibran Rakabuming Raka.
Hal ini implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan batas usia minimal 40 tahun sepanjang sudah atau pernah berpengalaman menjadi kepala daerah.
Yusril mengaku tidak sependapat dengan putusan MK dan menyebut putusan tersebut cacat hukum dan problematik.
"PBB kalau misalnya koalisi tetap mengatakan Pak Prabowo mengusulkan Pak Gibran, saya sudah kemukakan pandangan saya seperti ini tetapi kalau misalnya mau ditempuh jalan terus, saya menghormati putusan demokratis tapi jangan sampai saya tidak menyampaikan apa yang saya tahu dan saya paham persoalan ini," ujar Yusril dalam Diskusi Kedai kopi bertajuk Menakar Pilpres Pascaputusan MK, Selasa (17/10/2023).
Yusril mengatakan hingga saat ini belum ada pembicaraan tentang Gibran di koalisi KIM. Dalam pertemuan terakhir, Prabowo hanya meminta masukan dari partai partai koalisi untuk cawapres.
"Pada umumnya ketua-ketua partai itu mengatakan menyerahkan sepenuhnya kepada Pak Prabowo siapa yang akan dipilih. Saya pun mengatakan ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu misalnya pertimbangan Jawa-Luar Jawa, pertimbangan Islam kebangsaan," ujarnya.
Namun demikian, Yusril juga akan menyampaikan pendapatnya tentang putusan ini ke Prabowo. Yusril sekaligus bagian partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) merasa perlu menyampaikan pandangannya kepada Prabowo terkait putusan tersebut, jika ingin menggandeng Gibran sebagai cawapres. Menurutnya, putusan MK dengan Nomor 90/PUU-XXI/2023 ini problematik dan cacat hukum karena ada penyelundupan di dalamnya.
"Sekiranya besok atau hari ini ada pertemuan, dan ketua ketua partai diberikan kesempatan untuk bicara, saya akan menyampaikan apa yang saya pikirkan hari ini, karena memang walaupun saya ketua partai, tetapi saya tidak dapat melepaskan diri saya sebagai akademisi dalam berbagai disiplin ilmu khususnya akademisi di bidang hukum tata negara, saya tau putusan MK itu problematik, " ujar Yusril.
Yusril berharap putusan kontroversial ini meski final dan mengikat, tetapi mesti disikapi secara bijak oleh semua pihak. Hal ini agar mencegah terjadinya persoalan legitimasi di di masa mendatang. Apalagi jabatan yang dikontestasikan pascaputusan ini adalah untuk posisi penting yakni Wakil Presiden.
"Jabatan yang ingin dikontestasikan ini kan bukan sembarang jabatan. Ini jabatan presiden wakil presiden, kalau itu menimbulkan persoalan legitimasi, keabsahan itu dampaknya bagi keputusan-keputusan diambil, dampaknya bagi bangsa dan negara akan sangat besar ke depannya," ujar Yusril.
Karena itu, Yusril mengingatkan jangan sampai karena untuk kepentingan politik kemudian mengorbankan kepentingan bangsa Indonesia.