Jumat 20 Oct 2023 13:34 WIB

Emisi Karbon Dioksida Capai Level Tertinggi, Bumi Sudah tak Layak Huni?

Bahan bakar fosil merupakan penyumbang utama polusi karbon dioksida.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Natalia Endah Hapsari
Emisi karbon dioksida (CO2) global diperkirakan mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada tahun ini./ Ilustrasi
Foto: www.freepik.com
Emisi karbon dioksida (CO2) global diperkirakan mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada tahun ini./ Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Emisi karbon dioksida (CO2) global diperkirakan mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada tahun ini. Hal ini memberikan peringatan serius tentang tantangan yang dihadapi dunia dalam perang melawan perubahan iklim. Para ilmuwan menyatakan bahwa penurunan emisi CO2 hampir setengah dekade ini merupakan hal yang sangat penting, jika ingin mencapai tujuan Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan global pada 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri.

Menurut data awal, tingkat emisi CO2 seharusnya turun sekitar lima persen pada tahun ini, tapi kenyataannya diperkirakan akan meningkat hingga 1,5 persen. Ilmuwan di lembaga penelitian iklim CICERO di Norwegia, Glen Peters menyatakan bahwa kemungkinan penurunan emisi pada 2023 sangat kecil. Proyeksi saat ini menunjukkan bahwa emisi CO2, yang berasal dari berbagai sumber seperti kendaraan, pesawat, listrik, pemanas, dan produksi makanan, akan meningkat antara 0,5 persen hingga 1,5 persen.

Baca Juga

“Emisi yang terus meningkat setiap tahun membuat semakin sulit untuk mencapai jalur yang konsisten dengan Paris,” kata Peters, dilansir Daily Mail, Jumat (20/10/2023).

Kendala terbesar yang dihadapi adalah penggunaan bahan bakar fosil, yang merupakan penyumbang utama polusi CO2. Namun, ada kabar baik, di mana pertumbuhan teknologi energi ramah lingkungan dan mobilitas listrik sedang mengalami pertumbuhan luar biasa. Ini berarti bahwa permintaan global terhadap minyak, gas, dan batu bara diperkirakan mencapai puncaknya dalam dekade ini, yang merupakan langkah positif dalam mengatasi perubahan iklim.

Meskipun demikian, masalahnya adalah emisi yang sangat tinggi selama pemulihan ekonomi pascapandemi dan krisis energi yang diakibatkan oleh beberapa faktor global, termasuk invasi Rusia ke Ukraina, masih menjadi tantangan yang harus dihadapi. Peters menyatakan bahwa energi bersih harus menggantikan bahan bakar fosil, tetapi perubahan ini belum terjadi secara signifikan.

Para ilmuwan telah lama memperingatkan bahwa jika suhu global naik lebih dari 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, ini dapat memicu perubahan berbahaya dalam sistem iklim. Sayangnya, emisi CO2 terus meningkat tanpa tanda-tanda penurunan.

“Kekhawatiran saya adalah kita melakukan separuh pekerjaan, mengembangkan energi ramah lingkungan, dan tidak melakukan separuh pekerjaan lainnya, beralih dari bahan bakar fosil,” ujar Peters.

Pada 2022, emisi CO2 meningkat sebesar 0,9 persen, mencapai rekor tertinggi sepanjang masa. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh negara-negara yang beralih kembali ke penggunaan batu bara selama krisis energi global. Meskipun pertumbuhan emisi global lebih rendah dari yang diperkirakan, penggunaan batu bara yang sangat tinggi tetap menjadi permasalahan utama.

Meskipun ada tantangan dalam mengatasi emisi CO2 yang terus meningkat, beberapa negara seperti Inggris berhasil mencapai penurunan emisi gas rumah kaca. Faktor utama dalam penurunan tersebut termasuk penggunaan yang lebih sedikit bahan bakar untuk pemanasan karena harga energi yang lebih tinggi dan cuaca yang lebih hangat. Meskipun demikian, upaya global yang lebih besar diperlukan untuk menghadapi perubahan iklim yang semakin mendesak.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement