REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Majelis Umum PBB menyetujui resolusi tidak mengikat pada Jumat (27/10/2023), yang menyerukan “gencatan senjata kemanusiaan” di Jalur Gaza, Palestina yang mengarah pada penghentian permusuhan antara Israel dan Hamas yang berkuasa di Gaza.
Keputusan itu merupakan respons pertama PBB terhadap agresi Israel terhadap penduduk di Jalur Gaza. PBB yang beranggotakan 193 negara itu mengadopsi resolusi tersebut melalui pemungutan suara, yang hasilnya 120 negara mendukung, 14 negara menolak, dan 45 absen.
Lucunya, di antara negara yang tidak mendukung alias absen terkait resolusi penghentian serangan Israel ke Gaza itu adalah Ukraina. Padahal, selama ini Ukraina selalu berteriak keras tentang korban sipil kala menghadapi Rusia.
Mayoritas negara itu menolak amandemen Kanada yang didukung oleh Amerika Serikat, yang dengan tegas mengutuk 'serangan Hamas' pada 7 Oktober 2023 dan menuntut pembebasan segera sandera oleh Hamas.
Dubes Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, menyebut Majelis Umum PBB "lebih berani, lebih berprinsip" dibandingkan Dewan Keamanan PBB yang terpecah, yang gagal dalam empat upaya selama dua pekan terakhir untuk mencapai kesepakatan mengenai resolusi. Dua di antaranya bahkan diveto dan dua lainnya gagal mendapatkan minimal sembilan suara 'ya' yang diperlukan untuk persetujuan.
Duta Besar Israel untuk PBB Gilad Erdan menyebutnya sebagai "hari yang akan menjadi hari yang buruk,". Gilad bahkan tidak mempedulikan resolusi PBB untuk menghentikan serangan atau gencatan senjata kedua belah pihak.
"Israel tidak akan menghentikan operasi sampai kemampuan Hamas dihancurkan dan sandera kami dikembalikan. … Dan satu-satunya cara untuk menghancurkan Hamas adalah mengusir mereka dari terowongan dan kota bawah tanah mereka," kata Gilad dikutip dari AP.