REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Hubungan Israel dan Turki sempat membaik beberapa tahun belakangan. Hal ini ditandai dengan disetujuinya pengangkatan kembali duta besar kedua negara pada tahun lalu. Mereka juga memulai kembali diskusi mengenai proyek pipa gas alam yang didukung Amerika Serikat (AS) yang dapat menjadi dasar bagi kerja sama yang lebih erat dan bertahan lama di tahun-tahun mendatang.
Namun, kondisi itu berubah setelah pembantaian yang dilakukan Israel dalam tiga pekan terakhir. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan meningkatkan kecaman atas serangan Israel dan keputusan operasi militer terhadap Hamas di Jalur Gaza. Kondisi semakin memanas saat negara itu melakukan unjuk rasa besar-besaran terhadap tindakan Israel.
Partai Erdogan yang berakar pada Islam menggelar unjuk rasa besar-besaran di Istanbul pada Sabtu (28/10/2023). Menurut klaim presiden, acara itu dihadiri sekitar 1,5 juta orang.
“Israel, Anda adalah penjajah,” kata Erdogan di depan bendera Turki dan Palestina yang berkibar dalam lautan pendukungnya.
Erdogan menuduh pemerintah Israel berperilaku seperti penjahat perang dan berusaha membasmi warga Palestina. “Tentu saja setiap negara berhak membela diri. Namun di manakah keadilan dalam kasus ini? Tidak ada keadilan yang ada hanyalah pembantaian keji yang terjadi di Gaza," ujarnya
Erdogan telah menjadi pendukung internasional terkemuka terhadap hak-hak Palestina selama dua dekade pemerintahannya. Dia mengambil tindakan yang lebih hati-hati pada hari-hari pertama setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, hanya saja menjadi jauh lebih vokal karena jumlah korban terbunuh yang dilaporkan akibat respons militer Israel terus bertambah.
Erdogan mengatakan, Israel adalah pion di kawasan yang digunakan oleh negara-negara Barat untuk mencap otoritas mereka di Timur Tengah. “Penyebab utama di balik pembantaian yang terjadi di Gaza adalah Barat,” kata Erdogan.
“Jika kita mengesampingkan beberapa suara hati nurani. Pembantaian di Gaza sepenuhnya merupakan ulah Barat," ujarnya.
Presiden Turki itu pun menuduh sekutu Israel menciptakan suasana perang salib yang mengadu domba umat Kristen melawan Muslim. “Dengarkan seruan kami untuk berdialog. Tidak ada yang rugi dalam perdamaian yang adil," kata Erdogan.
Pidato Erdogan disampaikan sebagai tanggapan terhadap protes pro-Palestina selama berhari-hari di Istanbul dan kota-kota besar lainnya yang diorganisir oleh kelompok sayap kanan dan konservatif Islam di Turki. Namun sebuah jajak pendapat yang dirilis pekan ini menunjukkan mayoritas responden lebih memilih untuk melihat Turki tetap netral atau mencoba memainkan peran mediasi dalam perang tersebut.
Survei Metropoll menunjukkan 11,3 persen responden mengatakan, mereka mendukung Hamas. Namun 34,5 persen mengatakan, Turki harus tetap netral dan 26,4 persen mengatakan Turki harus melakukan mediasi. Hanya 3,0 persen yang mengatakan mereka mendukung Israel.
Israel pun mengatakan pada Sabtu (28/10/2023), pihaknya menarik kembali staf diplomatik dari Turki setelah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan melancarkan serangan sengit terhadap operasi militernya di Gaza
Israel telah membombardir Gaza sejak 7 Oktober ketika kelompok Palestina Hamas melakukan serangan lintas batas menewaskan 1.400 orang Israel dan menyandera banyak orang. Kementerian Kesehatan di Jalur Gaza mengatakan, serangan Israel kini telah membunuh sedikitnya 7.703 orang, sebagian besar warga sipil dan banyak dari mereka adalah anak-anak.