REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyampaikan, pihaknya masih membutuhkan tambahan kebijakan untuk dapat melakukan pengembangan serta pembangunan infrastruktur pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN di Tanah Air. PLTN menjadi satu dari sekian banyak potensi alternatif energi bersih di Indonesia yang bisa menjadi opsi untuk meninggalkan batu bara sebagai upaya mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
"Kita harus bisa membuat beberapa kebijakan-kebijakan lagi terkait dengan mekanisme memanfaatkan energi listrik dari pembangkit listrik tenaga nuklir," kata Arifin di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Jumat (3/11/2023).
Arifin menyampaikan, pemerintah memahami masih terdapat kekhawatiran di tengah masyarakat terkait pemanfaatan nuklir sebagai pembangkit listrik. Namun tak dipungkiri, banyak negara yang menggunakannya sebagai energi baru.
"PLTN adalah energi baru yang memang selama ini masyarakat masih khawatir pemanfaatannya," ujarnya.
Berdasarkan survei Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) pada akhir 2016 lalu, sejumlah yang dikhawatirkan masyarakat yakni terkait potensi terjadinya kebocoran reaktor nuklir, Selain itu, kemungkinan pencemaran radioaktif yang ditimbulkan oleh reaktor PLTN hingga limbah radioaktif. Namun, berdasarkan survei kepada 4.000 responden di 34 provinsi, sebanyak 77,5 persen responden mengatakan setuju adanya PLTN.
Mengutip draf Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) Tahun 2023-2060, Indonesia memproyeksikan kapasitas pembangkit pada 2060 mencapai 722 GW. Dari angka tersebut, kapasitas pembangkit PLTN termasuk reaktor modular kecil atau small modular reactor (SMR), diproyeksikan sekitar 2 persen dari 722 GW. Rencananya, operasi komersial PLTN pertama kali mulai 2032 sebesar 0,4 GW.
"Beberapa negara sudah mulai mengembangkan konsep small modular reactor. Small modular reactor ini bukan hanya dipakai di konsep saja tapi juga sudah ada yang offshore floating SMR,” ujarnya.