Sabtu 04 Nov 2023 02:06 WIB

Mitos Makanan yang Bikin Resah Pakar Gizi

Ada lima mitos yang paling populer dan perlu diluruskan tentang makanan.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Qommarria Rostanti
Mitos tentang makanan (ilustrasi). Ada beberapa mitos makanan yang membuat pakar gizi resah dan perlu diluruskan.
Foto: www.freepik.com
Mitos tentang makanan (ilustrasi). Ada beberapa mitos makanan yang membuat pakar gizi resah dan perlu diluruskan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai informasi soal nutrisi banyak beredar di media sosial. Sayangnya, terkadang sumbernya tidak jelas sehingga kebenaran dari informasi itu pun masih dipertanyakan. Bahkan, beberapa mitos membuat resah para pakar gizi yang sebenarnya.

Di antara sekian banyaknya mitos tersebut, ada lima mitos yang paling populer dan perlu diluruskan oleh orang yang mumpuni diranah gizi. Para ahli nutrisi memberikan pandangan mengenai lima mitos berikut, dikutip dari laman Huffington Post, Jumat (3/11/2023):

Baca Juga

1. Informasi salah tentang makanan olahan

Spesialis bioma usus Tim Spector resah dengan informasi yang salah tentang makanan olahan, menyebutnya tidak masuk akal. Sebab, keju, kacang kalengan, dan roti juga termasuk dalam daftar makanan olahan dan tak perlu dihindari secara berlebihan.

Profesor epidemiologi genetik di King’s College London, Inggris, itu menjelaskan bahwa yang konsumsinya tak boleh berlebihan adalah makanan ultraproses (UPF) yang diproduksi secara industri. Spector juga tidak menyetujui rekomendasi pembatasan makan ekstrem.

2. Serealia dianggap sebagai "penjahat"

Peneliti dalam bidang terapi nutrisi dan kesehatan usus, Megan Rossi, menyayangkan salah satu mitos umum bahwa serealia dianggap sebagai "penjahat". Sebut saja gandum, barley, dan rye.

Ketiganya dimusuhi karena kandungan gluten. Padahal, selama seseorang tidak mengidap penyakit celiac, serealia merupakan bagian penting dari diet. Orang yang rutin mengonsumsi serealia yang mengandung gluten cenderung memiliki kesehatan usus yang lebih baik berkat probiotik serta senyawa bernutrisi lainnya.

3. Berlebihan memakai istilah "toksik"

Istilah "toksik" serta "detoks" amat membuat Idrees Mughal jengkel karena sering dipakai secara tidak sesuai dan berlebihan di media sosial. Dokter Layanan Kesehatan Nasional Inggris (NHS) itu mengatakan banyak orang tidak memahami maknanya.

Menurut Mughal, banyak produsen atau pengiklan hanya asal memakai kata-kata itu untuk memengaruhi konsumen. "Umumnya, orang-orang menanamkan rasa takut pada konten mereka agar audiens percaya pada narasi apa pun yang mereka jual," kata Mughal. 

4. Berbagai klaim "menurut studi"

Pendiri Alinea Nutrition, Alan Flanagan, menyarankan masyarakat lebih kritis jika ada konten yang mengklaim sesuatu dengan embel-embel 'menurut studi'. Tanyakan dan cari tahu, apakah klaim itu punya dasar dan bukti yang bisa dipertanggungkawabkan atau tidak.

Flanagan juga sebal dengan orang-orang yang memperlakukan makanan tertentu seperti "musuh". Dia menekankan bahwa tidak ada yang disebut 'makanan musuh'. Itu adalah informasi yang salah, mengaburkan kenyataan sederhana soal karakteristik pola makan.

5. Obsesi pada protein

Michael Greger dari American College of Lifestyle Medicine berpendapat obsesi terhadap protein sudah tidak terkendali. Dia berpendapat, di media sosial, banyak pihak menyebarkan informasi yang salah tentang manfaat protein bagi tubuh.

Selain itu, Greger menyoroti juga soal makan sehat yang dianggap mahal. Padahal, makan sehat tak perlu merusak keuangan seseorang. Kombinasi makanan "murah", seperti apel, kacang, kubis, ubi, juga buah dan sayur lain, sudah sangat sehat dan bernutrisi.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement