REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia memiliki waktu tujuh tahun lagi untuk mewujudkan target penurunan emisi gas rumah kaca seperti yang tertuang dalam dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC). Di tahun 2030, pemerintah menargetkan bisa mengurangi emisi karbon dioksida sebanyak 31,9 persen tanpa syarat dengan upaya sendiri, dan akan meningkat menjadi 43,2 persen dengan dukungan dari internasional.
Ada lima sektor prioritas yang diberi mandat untuk pemenuhan NDC, yakni sektor kehutanan dan lahan (FOLU), pertanian, limbah, perindustrian, serta energi. Adapun sektor perhutanan atau FOLU diyakini bisa menjadi kontributor utama dalam pengurangan emisi karbon.
Namun apakah kondisi hutan Indonesia saat ini betul-betul bisa menopang pencapaian target itu? Direktur Program Terestrial Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Ruslandi, menilai bahwa hutan di Indonesia bisa diandalkan dalam mencapai target NDC di tahun 2030. Namun dengan syarat, pemerintah, pihak swasta, dan pihak-pihak terkait harus bisa bekerja sama untuk mengimplementasikan pengelolaan hutan yang lestari.
Menurut Ruslandi, pemerintah harus membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada berbagai pihak untuk berkontribusi dalam pencapaian target NDC 2030. Di sisi lain, pengusaha juga perlu meningkatkan komitmen bahwa mereka tidak hanya memikirkan keuntungan semata.
"Pengusaha juga harus berkomitmen menjalankan bisnis yang bisa mendukung program pemerintah dalam menurunkan emisi atau perlindungan biodiversity secara menyeluruh,” kata Ruslandi saat diwawancarai di Jakarta, belum lama ini.
Dari pengamatan Ruslandi, kondisi hutan di Indonesia dari waktu ke waktu terus mengalami perbaikan. Namun yang perlu dianalisis lebih lanjut terkait perbaikan tersebut sudah cukup atau belum untuk menjamin kelestarian dan target pengurangan emisi gas rumah kaca.
Untuk mendorong perbaikan yang lebih optimal, Ruslandi menyarankan agar pemerintah atau pun pasar mensyaratkan produk-produk hutan yang dijual harus lulus sertifikasi pengelolaan hutan lestari. Sertifikasi tersebut bisa menjadi standar acuan bahwa para pengusaha hutan telah mengelola hutan secara lestari.
“Saya kira sertifikasi itu penting, baik sertifikasi dari pemerintah maupun sertifikasi pengelolaan hutan lestari yang dilakukan secara sukarela. Itu bisa menjadi tolok ukur perbaikan hutan,” tegas Ruslandi.
Menurut perkiraan Ruslandi, mungkin ada sekitar 50 persen atau kurang dari produk-produk hutan yang sudah mendapatkan sertifikasi. Karena itulah, dia mendorong agar sertifikasi lebih diperketat, sehingga target pengurangan emisi gas rumah kaca bisa tercapai.
“Saya tidak tahu data persisnya, tapi saya pikir mungkin 50 persen atau kurang dari mereka yang sudah mendapatkan sertifikasi. Jadi saya kira ke depannya tentu perlu perbaikan lagi,” kata Ruslandi.