REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia menghadapi cuaca yang lebih ekstrim akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Ironisnya, negara-negara miskin dan berkembang yang tidak terlalu berkontribusi terhadap pemanasan global, justru yang paling terkena dampak dari kekeringan, banjir, dan bencana ekstrim lainnya.
Dalam sebuah laporan terbaru, PBB menyatakan bahwa saat ini dana iklim yang disalurkan ke negara-negara miskin dan berkembang semakin sedikit. Negara-negara miskin dan berkembang telah dijanjikan 100 miliar dolar AS per tahun dari negara yang lebih kaya, untuk membantu mengurangi polusi iklim dan mengatasi dampak kenaikan suhu.
Namun sayangnya, negara-negara maju tidak memenuhi janji mereka. Pada tahun 2021, mereka justru memberikan dana 15 persen lebih sedikit kepada negara-negara miskin untuk adaptasi iklim dibandingkan tahun sebelumnya. Itu berarti, lebih sedikit uang untuk hal-hal seperti pertahanan banjir, tanaman tahan kekeringan, dan sistem peringatan dini untuk membantu orang mengungsi dalam keadaan darurat.
PBB memperkirakan, kesenjangan antara jumlah dana yang harus dikeluarkan oleh negara-negara berkembang untuk proyek-proyek adaptasi iklim mencapai 194 miliar-366 miliar dolar AS per tahun. Dengan kata lain, negara-negara miskin membutuhkan setidaknya 10 kali lebih banyak dana adaptasi iklim dibandingkan dengan 21,3 miliar dolar AS dana publik yang mereka terima pada tahun 2021.
Kesenjangan yang terus terjadi akan membuat negara miskin-berkembang terpaksa menunda investasi untuk mengurangi krisis iklim, yang pada akhirnya memperbesar kerugian yang akan mereka alami. Kenyataan tersebut mendorong terciptanya dana kerugian dan kerusakan pada negosiasi iklim tahunan PBB tahun lalu, dan pembicaraan di COP28 akhir tahun ini di Uni Emirat Arab akan berfokus pada bagaimana cara agar dana tersebut dapat digunakan.
"Semua orang ingin beradaptasi, ingin melihat perubahan iklim, tahu apa yang harus dilakukan - tetapi tidak ada dana yang tersedia untuk melakukannya," ujar Pieter Pauw, seorang peneliti dari Eindhoven University of Technology di Belanda, yang juga merupakan salah satu penulis laporan PBB tersebut.
"Jadi, kita akan melihat hal-hal seperti yang kita lihat tahun lalu di Pakistan, di mana hampir sepertiga dari negara tersebut terendam banjir. Sebagian karena masyarakat tidak beradaptasi dengan perubahan iklim,” kata Pauw seperti dilansir NPR, Senin (6/11/2023).
Banjir di Pakistan pada musim panas lalu menewaskan sedikitnya 1.700 orang dan menyebabkan kerugian sekitar 14,9 miliar dolar AS. Perubahan iklim membuat hujan lebat menjadi lebih sering terjadi, karena atmosfer yang lebih panas dapat menahan lebih banyak uap air.