Ahad 19 Nov 2023 23:27 WIB

Israel Jadikan Kelaparan di Gaza sebagai Senjata

Tidak ada toko roti di Jalur Gaza utara yang aktif sejak 7 November

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Pengungsi Palestina menyiapkan roti menggunakan kayu bakar akibat kekurangan gas di kamp pengungsi Khan Yunis, Jalur Gaza selatan, 17 November 2023. Lebih dari 11.000 warga Palestina dan setidaknya 1.200 warga Israel tewas, menurut Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dan Israel.
Foto: EPA-EFE/HAITHAM IMAD
Pengungsi Palestina menyiapkan roti menggunakan kayu bakar akibat kekurangan gas di kamp pengungsi Khan Yunis, Jalur Gaza selatan, 17 November 2023. Lebih dari 11.000 warga Palestina dan setidaknya 1.200 warga Israel tewas, menurut Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dan Israel.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA --  Samar Rabie bertanya-tanya bagaimana caranya bisa memberi makan 15 orang yang tinggal bersamanya. Ibu empat anak ini menjadi tuan rumah bagi teman-teman suaminya dan keluarga mereka yang mengungsi dari Gaza City ke rumahnya di Khan Younis. Dia berjuang untuk mendapatkan bahan-bahan pokok seperti roti.

“Saya pergi ke salah satu mal untuk membeli beberapa barang, tapi saya tidak menemukan apa pun,” kata perempuan berusia 28 tahun ini dikutip dari Aljazirah.

Baca Juga

Rak-rak kosong, tanpa gula, kacang-kacangan, keju, atau produk susu lainnya. “Yang ada hanya minyak goreng,” kata Rabie, sambil menunjukkan bahwa harga pangan telah meningkat tiga kali lipat sejak perang dimulai.

Rabie mengaku, warga Khan Younis telah kekurangan banyak bahan makanan pokok, seolah-olah semuanya diatur sedemikian rupa. "Selain tidak memiliki listrik atau air, kami juga akan kelaparan," ujarnya.

Karena kekurangan roti, keluarga dan teman-temannya bergantung pada memasak pasta dan nasi, tetapi persediaan makanan tersebut juga cepat habis. “Saya hanya khawatir tentang bagaimana kami akan saling memberi makan setelah dua atau tiga hari, dan apa yang akan kami jalani di hari-hari sulit yang semakin mencekik kami,” kata Rabie.

Mahmoud Sharab yang juga warga Khan Younis mengatakan, meskipun dia kecewa dengan kenaikan harga, dia tidak menyalahkan pedagang atas inflasi yang terjadi pada sayuran. “Pertanian mereka telah dihancurkan oleh pemboman Israel yang terus-menerus. Mereka tidak dapat mencapai tanahnya," kata pria berusia 35 tahun itu.

Sharab keluar setiap hari menjelajahi toko-toko dan pasar untuk mencari makanan, dengan harapan setidaknya bisa menemukan makanan kaleng dan biji-bijian. “Saya tidak dapat menemukan apa pun,” katanya.

“Saya harus bertanya kepada orang-orang apakah mereka punya tambahan kacang kalengan atau daging agar saya bisa membelinya untuk keluarga saya," ujarnya.

Sharab mengatakan, yang dilakukan Israel adalah menjadikan kelaparan sebagai senjata di Gaza. Kebijakan ini membuat takut banyak orang termasuk anak-anak. Pemboman yang disengaja terhadap toko-toko roti telah membuat orang-orang mengantre selama enam atau tujuh jam hanya untuk mendapatkan sekantong roti.

Menurut PBB, tidak ada toko roti di Jalur Gaza utara yang aktif sejak 7 November karena kekurangan bahan bakar, air, dan tepung terigu serta kerusakan struktural. Sebanyak 11 toko roti di Jalur Gaza hancur total, sementara lainnya tidak dapat beroperasi karena kekurangan tepung, bahan bakar, dan listrik.

“Ada indikasi mekanisme penanggulangan yang negatif akibat kelangkaan pangan, termasuk melewatkan atau mengurangi waktu makan dan menggunakan metode yang tidak aman dan tidak sehat untuk membuat api,” ujar laporan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) pada pekan ini.

“Orang-orang dilaporkan beralih ke pola makan yang tidak lazim, seperti mengonsumsi kombinasi bawang mentah dan terong mentah," kata laporan itu.

Sejak Israel memberlakukan blokade total terhadap Jalur Gaza pada 7 Oktober, konvoi bantuan hampir tidak dapat masuk. Kondisi ini diibaratkan oleh badan-badan kemanusian dengan hanya dapat menyediakan “setetes air di lautan” dari dibutuhkan oleh 2,3 juta orang di wilayah tersebut.

Sebanyak 91 truk yang membawa bantuan masuk dari Mesir pada 14 November, sehingga jumlah truk yang memasuki Gaza sejak 21 Oktober hanya 1.187 truk. Sebelum perang dimulai, rata-rata 500 truk memasuki Jalur Gaza setiap hari.

Meskipun jumlah bahan bakar yang diperbolehkan masuk 15 November 2023 untuk pertama kalinya sejak 7 Oktober, jumlahnya sangat terbatas. Pihak berwenang Israel mengatakan, bahan bakar tersebut akan digunakan secara eksklusif untuk truk yang mendistribusikan bantuan kemanusiaan ke tempat penampungan, klinik, dan penerima manfaat lainnya.Penggunaan lainnya, misalnya untuk pengoperasian generator di rumah sakit atau fasilitas air dan sanitasi, dilarang.

Selain itu, pengiriman bantuan ke wilayah utara menjadi mustahil karena sebagian besar akses telah terputus. Persediaan makanan yang terbatas didistribusikan terutama kepada para pengungsi dan keluarga  di Jalur Gaza bagian selatan, dengan hanya tepung yang disediakan untuk toko roti di Jalur selatan. Sementara pengangkutan makanan apa pun ke Gaza City dan bagian utaranya tidak diizinkan oleh Israel.

Warga Palestina kini bergantung pada bantuan untuk makan...

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement