REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penetapan Ketua KPK Firli Bahuri sebagai tersangka kasus pemerasan oleh Polda Metro Jaya juga mendapat sorotan anggota Komisi III DPR RI. Penetapan itu dinilai sangat memalukan mengingat sosoknya yang merupkan ketua KPK justru terlibat kasus dugaan pemerasan.
Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengatakan, peristiwa tersebut menjadi peringatan dini dari hancurnya supremasi hukum di Indonesia. Sebab, sebelum ini, hukum digunakan untuk memenuhi kepentingan penguasa dan kelompok tertentu.
"Jadi, bukan kekuasaan yang kemudian mengikuti hukum yang ada, ketika hukum yang ada dianggap menghambat kekuasaan itulah yang harus diganti. Dengan itu yang harus diupayakan agar bisa memenuhi kepentingan penguasa ini," ujar Taufik di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (23/11/2023).
KPK sebagai pelaksana dan penegak hukum juga tak bisa menjalankan tugasnya sebagai pemberantas korupsi dengan baik. Selain Firli, sebelumnya nama Lili Pintauli Siregar juga terlibat persoalan hukum.
"Yang kita harapkan menjadi tempat untuk memberantas korupsi justru ketuanya ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian penegakan hukum yang kita harapkan bisa berjalan dengan baik banyak di beberapa tempat mengalami kemunduran, mengalami kritikan, mendapatkan keluhan masyarakat ketika mereka berupaya mendapatkan keadilan," ujar Taufik.
Komisi III tentu juga tak bisa lepas tangan terhadap permasalahan hukum yang terjadi saat ini. Mulai dari KPK, Mahkamah Konstitusi (MK), hingga kementerian/lembaga lain yang menjadi mitra kerjanya.
"DPR misalnya selaku legislatif, kita harus mawas diri harus mengevaluasi diri, terbuka kepada kritikan juga bahwa kita harus lebih meningkatkan, optimalkan tugas dan fungsi legislatif, yaitu melakukan pengawasan," kata Taufik.
"Kita harus menjaga jangan sampai justru legislasinya dikooptasi oleh penguasa. Kita juga harus menjalankan tugas bagaimana kekuasaan kemudian tidak merambah sampai masuk ke ranah yudikatif, itu peran dan fungsi legislatif sangat penting," ujar dia.