REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengingatkan cuaca antariksa memiliki dampak terhadap teknologi berbasis antariksa yang kini semakin marak digunakan umat manusia.
"Dampak cuaca antariksa bisa mencakup banyak hal mulai dari terjadinya gangguan komunikasi hingga gangguan navigasi," kata Periset Antariksa BRIN Fiti Nuraeni dalam dialog bertajuk sistem monitoring cuaca ekstrem yang dipantau di Jakarta, Jumat (24/11/2023).
Cuaca antariksa mengacu pada kondisi di luar angkasa yang meliputi matahari, angin, surya, magnetosfer, ionosfer, dan termosfer. Kondisi itu dapat memengaruhi sistem yang ada di ruang angkasa dan di bumi yang berbasis teknologi dan dapat mempengaruhi kehidupan atau kesehatan manusia.
Fitri menuturkan, fenomena ekstrem cuaca antariksa bisa menimbulkan arus induksi yang dapat mengganggu sistem kelistrikan. Bahkan, kru penerbangan yang melewati daerah-daerah lintang tinggi, seperti kutub juga bisa terdampak oleh cuaca antariksa.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan fenomena cuaca antariksa yang ekstrem dapat memengaruhi densitas ionosfer, sehingga sinyal dari satelit sampai ke receiver yang di bumi bisa mengalami gangguan. Para pengguna sistem pemosisi global atau GPS bisa kesulitan dalam hal navigasi.
"Kalau di daratan melenceng 1-2 kilometer bisa telepon, tapi kalau pesawat terbang navigasinya melenceng jauh itu berbahaya," kata Fitri.
Saat ini BRIN terus memantau kondisi cuaca antariksa dengan mengoperasikan Sistem Monitoring dan Evalusi Cuaca Antariksa atau Space Weather Information and Forecast Services (SWIFtS). Layanan yang beroperasi sejak Maret 2015 tersebut telah memberikan prediksi dengan akurasi rata-rata sebesar 66 persen dan 51 persen berturut-turut untuk aktivitas matahari geomagnet dan ionosfer.