Selasa 05 Dec 2023 01:04 WIB

Mengapa Pendakian Tetap Dibuka Meski PVMBG Sebut Marapi Berstatus Waspada Sejak 2011?

Tidak adanya ‘aktivitas’ di gunung dengan status waspada bukan berarti situasi aman.

Seorang wanita bekerja di ladangnya saat Gunung Marapi memuntahkan material vulkanik saat meletus di Agam, Sumatera Barat, Indonesia, Senin, 4 Desember 2023. Gunung berapi tersebut memuntahkan kolom abu tebal setinggi 3.000 meter (9.800 kaki) ke angkasa dalam letusan mendadak hari Minggu dan awan abu panas menyebar beberapa mil (kilometer).
Foto: AP Photo/Ardhy Fernando
Seorang wanita bekerja di ladangnya saat Gunung Marapi memuntahkan material vulkanik saat meletus di Agam, Sumatera Barat, Indonesia, Senin, 4 Desember 2023. Gunung berapi tersebut memuntahkan kolom abu tebal setinggi 3.000 meter (9.800 kaki) ke angkasa dalam letusan mendadak hari Minggu dan awan abu panas menyebar beberapa mil (kilometer).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Febian Fachri

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Hendra Gunawan mengatakan, sifat erupsi Gunung Marapi sangat sulit dideteksi, baik secara visual maupun kegempaan. Sebab itu pihaknya sejak 2011 memberikan status level II atau waspada di gunung aktif tersebut atau dalam kata lain berstatus waspada.

Baca Juga

“Dengan sebegitu banyak peralatan memang sifat dari erupsi Gunung Marapi ini sangat sulit dideteksi ya,” ucap Hendra dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (4/12/2023). 

Hendra memaparkan, berdasarkan data gempa vulkanik di Gunung Marapi, bisa dikatakan gempa vulkanik di sana tergolong sangat miskin gempa. Dia juga memperlihatkan kondisi kawah Gunung Marapi sekitar satu bulan sebelum terjadinya erupsi pada Ahad (3/12/2023) lalu yang memang tampak tidak ada aktivitas. 

“Sangat-sangat miskin gempa di Gunung Marapi, walaupun alat kita cukup banyak. Nah ini kenapa alasan kita selalu pada level II, untuk antisipasi sebetulnya. Preventif agar menghindari kejadian yang tidak kita inginkan bersama,” jelas dia. 

Dia menjelaskan, meski secara visual tidak menunjukkan tanda-tanda erupsi dan secara kegempaan hanya ada satu gempa per bulan, dilihat dari sejarahnya erupsi selalu terjadi di sana. Sebab itu, pihaknya menetapkan status gunung itu berada di status II atau waspada. Dengan upaya preventif, pihaknya membuat rekomendasi pembatasan aktivitas di radius 3 kilometer.

“Karena itu kita buat rekomendasi 3 kilometer itu berdasarkan statistik (jarak aman) adanya erupsi setiap dua atau sampai empat tahun. Hanya tanggal dan bulannya kita nggak pernah tahu,” tutur Hendra.

Dia juga menekankan, pihaknya hanya berkewenangan untuk memberikan saran dan rekomendasi untuk dijadikan sebagai dasar pertimbangan dibuka atau tutupnya kawasan gunung tersebut untuk pendakian. PVMBG, kata dia, mengembalikan kebijakan itu kepada pemangku kepentingan terkait. 

“Rekomendasi teknis dari PVMBG ini kan boleh mendaki, tapi jaga jarak gitu ya. Karena kita tidak ingin ada kejadian yang tidak diinginkan untuk kasus bila ada erupsi yang mendadak, itu saja sebetulnya,” kata dia.

Menurut Hendra, karena selama dua hingga empat tahun bisa saja tidak terjadi erupsi di gunung semacam itu, maka semestinya semua pihak lebih meningkatkan kewaspadaan. Tidak adanya ‘aktivitas’ pada gunung dengan level II seperti itu bukan berarti situasi aman terkendali.

“Tolong kita sadari semua, saat tidak terjadi bukan berarti aman. Nah, itu justru kita harus meningkatkan lebih kewaspadaan. Tidak terjadi erupsi selama dua-tiga tahun berarti sudah menyebabkan akumulasi gas dekat dasar kawah. Sebetulnya itu, tapi kapan tanggal dan bulan ini sulit,” terang dia.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement