Kamis 07 Dec 2023 03:51 WIB

Boris Johnson Akui Salah dan Lambat Atasi Covid-19

Boris Johnson menekankan kegagalan kolektif daripada kesalahannya sendiri

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Mantan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengakui pemerintahnya terlalu lambat memahami skala krisis Covid-19.
Foto: AP Photo/Efrem Lukatsky
Mantan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengakui pemerintahnya terlalu lambat memahami skala krisis Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Mantan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengakui pemerintahnya terlalu lambat memahami skala krisis Covid-19. Namun ia mengelak dari pertanyaan apakah ada keputusannya yang berkontribusi terhadap tingginya angka kematian pandemi di negara itu.

Saat bersaksi di bawah sumpah dalam penyelidikan publik Covid-19 di Inggris, Johnson mengakui "kami meremehkan skala dan kecepatan tantangan" ketika laporan tentang virus baru mulai muncul dari Cina pada awal 2020.

"Tingkat kepanikan tidak cukup tinggi," katanya, Rabu (6/12/2023).

Dalam penyelidikan yang sama pekan lalu Mantan Menteri Kesehatan Matt Hancock mengatakan ia mencoba untuk meningkatkan kewaspadaan di dalam pemerintahan, dengan mengatakan ribuan nyawa dapat diselamatkan dengan menerapkan penutupan lebih awal beberapa pekan dari  tanggal 23 Maret 2020.

Inggris kemudian menjadi negara yang paling lama memberlakukan kebijakan karantina  dan salah satu yang paling ketat di Eropa. Inggris juga  salah satu negara dengan angka kematian akibat Covid-19 tertinggi di benua itu, dengan total kematian akibat Covid-19 sekitar lebih dari 232.000 orang.

Johnson mengakui pemerintah "melakukan kesalahan" tetapi menekankan kegagalan kolektif daripada kesalahannya sendiri. Ia mengatakan  para menteri, pegawai negeri dan penasihat ilmiah gagal membunyikan "lonceng peringatan yang cukup keras" tentang virus tersebut.

"Jika kami secara kolektif berhenti untuk memikirkan implikasi matematis dari beberapa prakiraan yang dibuat kami mungkin akan beroperasi secara berbeda," katanya.

Diinterogasi oleh pengacara penyelidikan Hugo Keith, ia mengakui ia tidak menghadiri satu pun dari lima pertemuan krisis tentang virus baru pada Februari 2020 dan hanya "sekali atau dua kali" melihat notulen rapat dari penasihat ilmiah pemerintah. Ia mengatakan ia mengandalkan saran yang "disaring" dari para penasihat sains dan kedokteran.

Johnson memulai kesaksiannya dengan permintaan maaf "atas rasa sakit dan kehilangan serta penderitaan para korban COVID," meskipun tidak untuk tindakannya sendiri. Empat orang berdiri di pengadilan saat dia berbicara, mereka memegang papan bertuliskan: "Orang Mati tidak bisa mendengar permintaan maaf Anda," mereka akhirnya dikawal keluar oleh staf keamanan.

"Tak pelak lagi, dalam upaya menangani pandemi yang sangat, sangat sulit di mana kami harus menyeimbangkan bahaya yang mengerikan di kedua sisi keputusan, kami mungkin telah membuat kesalahan," kata Johnson.

"Tak pelak lagi, kami melakukan beberapa hal yang salah. Saya rasa kami telah melakukan yang terbaik pada saat itu," katanya. 

 

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement