REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG— JAKARTA—Dalam ajaran Islam, terdapat hadits yang indah mengenai makna Muslim yang hakiki.
عن عبدالله بن عمرو بن العاص – رضي الله عنهما – عن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: المسلم من سلِم المسلمون من لسانه ويده، والمهاجر من هجَر ما نهى الله عنه
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash RA, dari Rasulullah SAW bersabda, “Muslim yang sempurna adalah seorang yang muslim lainnya merasa damai dari gangguan lidah dan tangannya. Muhajir yang sempurna adalah orang yg berhijrah dari setiap yang dilarang Allah (HR Bukhari-Muslim).
Hadits ini, menurut guru besar UIN Walisongo Semarang, Prof Syamsul Maarif, menekankan pentingnya menjaga ucapan dan perilaku agar tidak menyakiti orang lain.
“Perilaku, ucapan, dan bahkan pikiran kita, semuanya merefleksikan kedalaman keyakinan dan penghambaan kita kepada Allah SWT. Setiap ucap dan laku memiliki konsekuensinya, dan kita akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya kelak," ujarnya.
Kecenderungan alamiah, perbuatan, dan keinginan hati, kata Syamsul, semuanya harus selaras dengan ajaran agama demi mewujudkan penghambaan yang hakiki kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Syamsul mengajak kepada seluruh umat beragama agar berhati-hati dalam tutur kata dan perbuatan. Dia menyebut, setiap individu di bumi pertiwi selayaknya bisa menjadi sosok yang menyebarkan kebaikan, menghindari keburukan, dan senantiasa menjaga keharmonisan sesama masyarakat.
"Karena itulah wujud sejati keimanan yang dicintai Allah SWT," kata Syamsul.
Lebih lanjut dia menjelaskan sikap moderat ini dalam ajaran Islam, kata dia, seringkali disebut dalam ajaran agama dengan istilah wasathiyah, atau dikenal dengan moderasi beragama, jika merujuk pada frasa yang lebih universal.
Menurut dia, sikap yang moderat dalam beragama terbukti menjadi pemecah dalam kebuntuan komunikasi dan konsolidasi antara kelompok masyarakat dengan beragam latar belakang.
Syamsul melihat ada urgensi yang dirasakan dan mendasari penerapan moderasi beragama. Konsep ini dianggap dapat menjembatani segala bentuk kekakuan sosial di tengah masyarakat akibat radikalisasi pemikiran dan agama.
Dimana radikalisme senantiasa dihembuskan pihak-pihak yang cenderung menyukai kekerasan sebagai pilihan dalam mencapai tujuannya.
Baca juga: Israel Kubur Warga Hidup-Hidup, Alquran Ungkap Perilaku Yahudi kepada Nabi Mereka
“Mereka yang terpengaruh dengan radikalisme dan terorisme tentu ingin memporak-porandakan NKRI. Kelompok semacam ini ingin menghancurkan tatanan masyarakat yang telah terbangun dengan baik dan berdasar pada kearifan lokal," akademisi yang pernah menulis buku “Radikalisme dan Terorisme: Perspektif Pendidikan Islam” pada 2020 ini.
Syamsul menuturkan, dasar negara yang selama ini diyakini adalah hasil dari founding fathers serta berdasarkan pada filosofi para leluhur bangsa, sehingga pada dasarnya Indonesia lebih mengedepankan harmoni, cinta kasih, kepedulian, dan mutual respek kepada siapapun tanpa ada batasan tertentu.
Lebih lanjut, dia mengatakan moderatisme atau sikap moderat adalah suatu cara pandang yang harmonis dan mengutamakan kedamaian antarmakhluk Tuhan.
Konsep moderasi beragama, lanjut Syamsul, sesungguhnya berada dalam koridor dan ketentuan hukum agama, serta tidak sedikitpun menyeleweng dari ketentuan Tuhan.
Bahkan bisa dikatakan bahwa ketika semakin memegang prinsip-prinsip ajaran Tuhan, umat akan memiliki cara pandang yang tawazun (bijaksana dan seimbang), ta’adul (adil), dan tasamuh (toleran dan saling menghormati).
Oleh karena, kata dia, menjadi cara pandang yang mengedepankan kesatuan dan kesetaraan di tengah keanekaragaman, moderatisme menjadi jalan untuk memahami bahwa keanekaragaman yang ada adalah kehendak Allah SWT. Agama mengajarkan keberagaman untuk saling mengenal/kenal.