Orang mungkin lupa seolah wali sanga (Wali Songo) itu hanya ‘mengislamkan’ Jawa. Padahal kenyatannya tidak begitu. Mungkin istilah yang lebih tepat, yang mengislamkan budaya atau kekuasaan Jawa, lebih tepat disandangkan kepada Sunan Kalijaga.
Tapi, sosok yang wali atau orang mengislamkan wilayah di luar itu (Jawa bagian tengah dan Jawa bagian barat) lebih tepat disematkan pada peran Sunan Gunung Jati, Sedangkan Wali Songo yang mengislamkan Nusantara bagian tengah dan timur dari pulau Jawa, disandangkan kepada sosok Sunan Giri Prapen atau Sunan Giri.
Pada sisi lain peran mengislamkan Jawa juga sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh para wali yang ‘konon’ sebenarnya jumlahnya tidak hanya sembilan orang itu. Namun peran mengislamkan Jawa juga jasanya berada pada sosok para ‘guru sufi’ di Jawa disebut kiai yang mendirikan berbagai pesantren di sekujur pelosok pulau Jawa.
Jumlah para guru sufi atau kiai (ajengan, di Jawa bagian barat, ‘yai’ di Jawa bagian timur sangat banyak jumlahnya. Dan kalau ditelusuri dari sislisah berbagai leluhur yang menjadi tali-temali nasab dari berbagai pesantren tua, para penyebar agama di Jawa dan Nusantara (mengacu pada disertasi Prof DR Azyumardi Azra) itu merupakan jaringan ulama internasional atau lintas negera.
Mereka ada yang berasal dari Campa (Prof Abdul Hadi menyebut bukan Campa di India, melainkan Jeumpa, negeri Aceh atau Samudra Pasai, red), Gujarat, Yaman, bahkan langsung dari tanah Makkah. Ini misalnya terjejak pada waktu Sunan Gunung Jati yang harus sampai pergi ke Makkah – sekalian naik haji—sebelum atau diawal pendirian Kesultanan Demak. Dia meminta restu dari Syarif Makkah.
Dan, kisah ini pun terjejak pada pendiri sebuah pesantren tua di Jawa tengah bagian selatan (kebumen,red), yakni melalui Pesantren Al Kahfi, di Somalangu. Pendiri pesantren itu terlacak dari seorang pendakwah yang mantan orang penting dari Hadramut atau Yaman. Kala itu wilayah Yaman adalah wilayah yang sama dengan apa yang disebut Tanah Hijaz. (Lihat gambar di atas).