Jumat 29 Dec 2023 19:03 WIB

Jepang Protes Keras Latihan Militer Korsel di Dokdo

Baik Jepang dan Korsel mengklaim Dokdo berdasarkan argumen historis dan geografis.

Rep: Lintar Satria/ Red: Friska Yolandha
Rudal Serangan Darat Tomahawk (TLAM) diluncurkan dari kapal penjelajah berpeluru kendali USS Cape St. George (CG 71), yang beroperasi di Laut Mediterania, pada tanggal 23 Maret 2003. Tokyo memprotes latihan militer Korea Selatan di pulau yang disengketakan.
Foto: Intelligence Specialist 1st Kenneth Moll/U.S.
Rudal Serangan Darat Tomahawk (TLAM) diluncurkan dari kapal penjelajah berpeluru kendali USS Cape St. George (CG 71), yang beroperasi di Laut Mediterania, pada tanggal 23 Maret 2003. Tokyo memprotes latihan militer Korea Selatan di pulau yang disengketakan.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Kementerian Luar Negeri Jepang mengajukan protes keras kepada Kementerian Luar Negeri Korea Selatan (Korsel) dan Kedutaan besar Korsel di Tokyo. Pemerintah Jepang mengatakan Tokyo memprotes latihan militer di pulau yang disengketakan.

Sebelumnya pada Jumat (29/12/2023) kantor berita Jepang Kyodo mengutip kantor berita Korsel Yonhap yang melaporkan sekitar pertengahan Desember Korsel menggelar latihan militer untuk mempertahankan pulau-pulau tersebut.

Baca Juga

Pulau-pulau tersebut, yang disebut Takeshima di Jepang dan Dokdo di Korea ini dikuasai Seoul, tetapi juga diklaim Tokyo. Pulau-pulau itu hanya dataran berbatu tapi mewakili sengketa teritorial yang kompleks dan lama antara Jepang dan Korsel yang membayangi hubungan bilateral dua negara selama beberapa dekade.

Kedua belah pihak mengklaim Dokdo berdasarkan argumen historis dan geografis. Melalui dokumen dan peta sejarah Korsel mereka menguasai Dokdo sejak awal abad ke-17.

Namun, Jepang mengklaim mereka menggabungkan pulau-pulau itu ke wilayahnya tahun 1900, selama masa penjajahannya di Korea.  Perjanjian Perdamaian San Fransisco pada tahun 1951 tidak secara eksplisit membahas kedaulatan Dokdo, sehingga membuka peluang terjadinya ketegangan baru.

Korsel mengambil alih kendali atas kepulauan tersebut pada tahun 1954 dan sejak saat itu mempertahankan administrasi de facto, menempatkan detasemen polisi dan membangun stasiun penelitian.

Sengketa ini termanifestasi dalam berbagai cara, mulai dari bentrokan diplomatik dan retorika politik hingga ketidaksepakatan ekonomi terkait zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan perikanan. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement