Selasa 02 Jan 2024 11:40 WIB

Kontroversi Jilbab: Dari Orde Baru, Revolusi Iran, Teater Emha, Hingga Senator Bali Arya Wedakarna

Ada dengan kontroversi dan pejorasi jilbab yang tak kunjung henti

Rep: Muhammad Subarkah/ Red: Partner
.
Foto: network /Muhammad Subarkah
.

Sekelompok siswa berjilbab di Jakarta pada tahun 1982 yang dilarang masuk sekolah.
Sekelompok siswa berjilbab di Jakarta pada tahun 1982 yang dilarang masuk sekolah.

Sikap pejoratif kepada perempuan Muslim berhijab atau berjilbab terus terjadi. Tuduhannya tetap klasik: pakaian itu tradisi timur tengah!

Dan memang, meski sikap itu selramg terus mengecil gaungnya, tapi suara tetap nyaring. Nadanya tetap ini 'terdengar fals' sampai kini. Bahkan dalam beberapa hari terakhir muncul konversi di media sosial adanya anggota parlemen dari Bali yang mempersoalkannya jilbab lagi.

Tapi kemudia sianggota senator itu kemudian memberi klarifikasi bahwa video ucapannya di dalam seuah rapat di lembaga perwakilan daerah tersebut telah dipotong.

Sikap seperti anggota DPD itu sebenarnya juga hanya mengulang kemvbali kejadian soal penolakan jilbab beberapa waktu lalu. Kala itu ada seorang orang tua non-Muslim di sebuah SMK Negeri di Padang mengatakan, putrinya dipaksa oleh peraturan sekolah memakai jilbab.

Sama dengan saat sekarang, kalau itu kontroversi pun segera timbul di dalam masyarakat. Berbagai klarifikasi muncul, baik dari penjelasan pihak sekolah secara langsung, pihak Depdikbud setempat, hingga mantan wali kota yang bicara mengapa aturan itu ada dan sejak lima tahun lalu saat aturan dibuat tak ada pemaksaan bagi siswi non-Muslim memakai jilbab.


Namun, apa pun kontroversi itu, kini soal jilbab menyeruak kembali. Hal ini juga sebenarnya tak terjadi di Indonesia saja. Di Eropa, misalnya di Prancis, Belgia, dan negara Eropa lain juga sama dengan sikap segelihtir orang di Indonesia, di mana mereka menuntut agar siswi sekolah di sana agar jangan memakai jilbab.

Padahal kenyataannya kini bisa diangap secara sederhana jilbab sudah merupakan pemandangan lazim. Bahkan di pelosok Jawa, kala ada resepsi maka sebagian besar kaum perempuan yang datang ke cara itu pasti memakai jilbab. Pemandangan ini berbanding terbalik, misalnya pada masa era 1970-an. Sejarawan asal Australia almarhum Prof. Merle Calvin Ricklefs, Ph.D mengatakan meluasnya pemakaian jilbab pertanda bila penetrasi ajaran Islam di kalangan Muslim di kalangan Indonesia menjadi tanda bahwa agaram agama ini semakuk dalam merasuk ke dalam batin masyarakat.''Indonensia semakin Muslim, dan tidak ada kesempatan lagi untuk berbalik ke belakang,'' katanya.


Pernyataan Ricklefs sangat dipahami karena munculnya kontroversi ini juga mau tidak mau dikaitkan denga suasana 'persaingan politik' masa lalu hingga kini di Indonesia atau mereka yang pro-Islam dan kelompok yang tidak.

Situasi kontemporer sekarang ini sama persis seperti yang terjadi pada 1980-an kala Orde Baru sedang kuat-kuatnya karena ekonomi negara saat itu lumayan baik, yakni mulai memasuki masa swasembada pangan dan menjadi 'empat negara macan Asia'. Indonesia ke luar dari kategori negera miskin dengan naik kelas berada di negara dengan kategori 'menengah bawah'.

Sampai saat ini kategori 'menengah bawah' yang dipunyai Indonesia belum bisa diperbaiki. Padahal ini sudah terjadi dalam kurun 40 tahun terakhir.


Soal pemakaian jilbab di Indonesia memang mau tidak mau hadir ketika muncul Revolusi Iran yang dipimpin Imam Khoemaeni pada 1979. Kala itu, Muslim Indonesia tersentak karena ternyata ada kekuatan Islam politik yang mampu berada di puncak kekuasaan sebuah negara. Janggut, serban, celana cingkrang, jilbab, hingga pengajian anak-anak muda muncul dengan marak.

Maka, demam Revolusi Iran sangat terasa melanda publik. Para mahasiswi di kampus-kampus, diawali satu-dua orang, mulai memakai jilbab meski penguasa kala itu mempersekusi dan melarang mereka berkuliah. Siswi sekolah di SMA pun begitu. Mereka mulai banyak yang 'nekat' memakai jilbab meski ada aturan yang keras melarangnya.

Di kancah budaya, soal pemakaian jilbab bergulir cepat serta membahana. Dan memang, pada masa Orde Baru, 1982, Daoed Joesoef yang merupakan Mendikbud saat itu melarang pemakaian jilbab di sekolah-sekolah negeri melalui Surat Keputusan 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional pada 17 Maret 1982. Ini dialami pemakai jilbab yang merupakan imbas kecurigaan Pemerintah Orde Baru atas peran Islam politik sejak beberapa tahun sebelumnya yang dianggap merongrong Pancasila.

Melihat kondisi itu, Emha Ainun Nadjib gelisah karena pelarangan tersebut adalah pelanggaran atas hak setiap manusia untuk memilih dan harus diprotes. Kegelisahan itu beliau tuangkan dalam puisi berjudul “Lautan Jilbab”.

Puisi yang ditulis Emha secara spontan kemudian dibacakan dalam forum “Ramadhan on Campus” yang diselenggarakan Jamaah Shalahuddin UGM pada Mei 1987. Puisi “Lautan Jilbab” mendapat respons yang meriah dari sekitar 6.000 orang yang hadir.


Emha lalu mengembangkan puisi itu menjadi lakon teater sebagai sarana protes atas kecenderungan Orde Baru menghalangi umat Muslim mengekspresikan keberislaman. Lakon itu dipentaskan pertama kali di UGM. Selama dua hari pementasan, “Lautan Jilbab” ditonton tak kurang dari 5.000 orang

Emha Ainun Nadjib membawa pertunjukan kolosal "Lautan Jilbab" digelar di berbagai kota. Penontonnya membeludak.

Berikut ini sepotong syair puisi 'Lautan Jilbab' karya Emha Ainun Nadjib:

Wahai Muslimah, berbanggalah

Para malaikat Allah tak bertelinga, tapi mereka mendengar suara nyanyian beribu-ribu jilbab.

Para malaikat Allah tak memiliki mata, tapi mereka menyaksikan derap langkah beribu jilbab.

Para malaikat Allah tak punya jantung, tapi sanggup mereka rasakan degub kebangkitan jilbab yang seolah berasal dari dasar bumi.

Para malaikat Allah tak memiliki bahasa dan budaya, tapi dari galaksi mereka seakan-akan terdengar suara: Ini tidak main-main! Ini lebih dari sekadar kebangkitan sepotong kain!

Para malaikat Allah seolah sedang bercakap-cakap di antara mereka

Kebudayaan jilbab itu, bersungguh-sungguhkah mereka?

O, amatilah dengan teliti: Ada yang bersungguh-sungguh, ada yang akan bersungguh-sungguh, ada yang tidak bisa tidak bersungguh-sungguh.

Sedemikian pentingkah gerakan jilbab di negeri itu?

O, sama pentingnya dengan kekecutan hati semua kaum yang tersingkir, sama pentingnya dengan keputusasaan kaum gelandangan, sama pentingnya dengan kematian jiwa orang-orang malang yang dijadikan alas kaki sejarah.


Tak hanya Emha, penyair Taufiq Ismail dan grup Bimbo juga mencetak lagu hits soal perempuan berjilbab. Dia berkisah tentang seorang mahasiswi yang menjadi bintang kampus-Taufik menyebutnya mahasiswa ITB-yang cantik dan pintar. ''Saya sengaja memilih dia juga karena namanya yang enak diucapkan: Aisyah. Ada nada syahdu terdengar begitu mengucap namanya."

Sama dengan "Lautan Jilbab" Emha Ainun Nadjib, lagu "Aisyah Adinda Kita" juga terdengar di mana-mana. Kalangan kajian mahasiswa yang kala itu marak menjadikan sebagai lagu penyemangatnya.

Aisyah Adinda Kita

Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita

Angka SMP dan SMA sembilan rata–rata

Pandai mengarang dan organisasi

Mulai Muharam 1401 memakai jilbab menutup rambutnya

Busana Muslimah amat pantasnya

Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita

Indeks prestasi tertinggi tiga tahun lamanya

Calon insinyur dan bintang di kampus

Bulan Muharam 1404 tetap berjilbab menutup rambutnya

Busana Muslimah amat pantasnya

Aisyah adinda kita tidak banyak berkata

Aisyah adinda kita dia memberi contoh saja

Ada sepuluh Aisyah berbusana Muslimah

Ada seratus Aisyah berbusana Muslimah

Ada sejuta Aisyah berbusana Muslimah

Ada sejuta Aisyah, Aisyah adinda kita


Khusus untuk kisah soal liku-liku pelarangan jilbab pada 1982, ada cerita menarik dari jurnalis senior Setiardi. Dia mengkisahkan nasib siswi berjilbab di masa awal yang ditulis Majalah Panji Masyarakat yang dahulu didirikan oleh Buya Hamka.

Kisahnya begini: Ada empat siswi SMA Negeri 68 Jakarta dikeluarkan dari sekolah. Mereka dianggap melanggar aturan tentang seragam sekolah. Keempat siswi itu rupanya ngotot mengenakan jilbab, seperti keyakinan mereka atas ajaran agama Islam.

Dan kita tahu, saat itu rezim Orde Baru (Orba) alergi dengan simbol-simbol Islam. Pemecatan terjadi di banyak tempat. Bahkan, ada yang diinterogasi di markas tentara karena memakai jilbab.

Seperti tak ingin lengah, Pemerintah Orba makin menegaskan larangan penggunaan jilbab di sekolah negeri. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah mengeluarkan SK 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah. Intinya, tak ada ruang bagi pengguna jilbab di sekolah negeri. Yang bersikukuh menerapkan keyakinannya itu akan dikeluarkan dari sekolah.

Cerita selanjutnya makin seru. Bahkan, kemudian muncul rumor soal 'jilbab beracun', yakni perempuan berjilbab yang menebar racun di pasar-pasar. Awal kisah ini di Pasar Rawu, Banten. Seorang perempuan dihajar massa dengan tuduhan menyebar racun di bahan makanan. Tudingan yang absurd. Saya duga, itu untuk stigma negatif. (Apakah soal crossgender bercadar saat ini juga untuk stigma negatif? Entahlah).

Tapi, rakyat bergerak. Demonstrasi menentang larangan jilbab merebak. Rezim tak mungkin melawan gelombang massa yang menguat. Terlebih, dinamika politik bergerak. Pendulum menuju ke kanan, mencari keseimbangan baru. Presiden Soeharto kemudian makin 'akrab' dengan kalangan Islam. ABRI, kekuatan utama Soeharto, makin didominasi tentara 'hijau'.

Akhirnya, pada 1991 Pemerintah secara resmi menguarkan SK Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah soal seragam sekolah yang baru. Siswi diperbolehkan memakai jilbab.

Nah, kini muncul lautan jilbab. Sembilan dari 10 eks teman sekolah perempuan kini berjilbab. Terlihat saat acara reuni atau arisan. Tak cuma itu, saat ini, saya punya teman karib di TNI, seorang perwira menengah berpangkat Letkol, teman Facebook juga, yang mengenakan jilbab. Semua baik-baik saja. Dunia tak menjadi kiamat. Padahal, dulu membayangkannya pun rasanya muskil.

Lalu, apa yang terjadi sekarang ketika kontroversi jilbab kembali muncul? Jawabnya, tak tahu pasti. Namun, di sana teraba ada soal-soal baru bahwa kini ada masalah antara hubungan negara dan umat Islam. Ini, misalnya, ada soal Pepres Radikalisme, pembubaran Ormas Islam, Pancasila dan negara Islam, soal sipil bisa berkarier jadi militer, dan lainnya.

Jadi, apakah kemunculan isu ini kebetulan? Jawabnya, yang pasti tak ada kebetulan terjadi di bawah terik sinar matahari. Termasuk, tidak pernah pula ada kebetulan dalam politik.

sumber : https://algebra.republika.co.id/posts/259657/kontroversi-jilbab-dari-orde-baru-revolusi-iran-teater-emha-hingga-senator-bali-arya-wedakarna
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement