Ahad 28 Jan 2024 11:00 WIB

Kisah Gencatan Senjata dalam Islam: Perjanjian Hudaibiyah  

Ada kesepakatan gencatan senjata dalam perjanjian Hudaibiyah.

Rep: Mabruroh/ Red: Muhammad Hafil
 Kisah Gencatan Senjata dalam Islam: Perjanjian Hudaibiyah. Foto:  Masjid Hudaibiyah
Foto: paramanio
Kisah Gencatan Senjata dalam Islam: Perjanjian Hudaibiyah. Foto: Masjid Hudaibiyah

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Sejak hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad Saw dan para sahabat selalu berdakwah menyebarkan agama Islam kepada seluruh penduduk, termasuk orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mayoritas penduduk Madinah, terutama suku Aus dan suku Khazraj, menyambut baik ajakan Nabi Muhammad Saw, sementara orang-orang Yahudi merasa tidak senang, bahkan mereka mulai menyusun kekuatan untuk melemahkan umat Islam.

Dikutip dari buku “Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah Kelas VII” karya H. Fida' Abdilah dan Yusak Burhanudin, banyak rintangan yang dihadapi Nabi Muhammad saw dan para sahabat dalam menyebarkan agama Islam, di tambah lagi dengan kelompok kaum munafik yang menjadi mata-mata bagi kaum kafir Quraish di Makkah. Secara sembunyi-sembunyi, mereka melepaskan diri dari kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. 

Baca Juga

Di bawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul (w. 631 M), seorang pemimpin dari Bani Khazraj, mereka menjalin hubungan rahasia dengan kaum kafir Quraisy di Makkah. Mereka selalu melaporkan perkembangan umat Islam di Madinah dengan maksud menekan kekuasaan Nabi Muhammad Saw. Hal ini merupakan awal terjadinya peperangan dengan kaum kafir Quraisy. Peperangan yang kemudian terjadi adalah Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq.

Umat Islam menang pada perang Badar, kalah pada perang Uhud, dan menang pada perang khandaq. Dalam perang khandaq, pasukan muslim berjumlah 3.000 orang, sedangkan pasukan kafir Quraisy berjumlah 10 ribu dengan tambahan kaum Yahudi dan kaum munafik.

Kemenangan dalam perang khandaq ini membuat nama umat Islam dan kota Madinah semakin harum. Hal itu menyebabkan para pembesar negeri tetangga tertarik untuk bekerja sama dengan pemerintahan kota Madinah.

Setelah 6 tahun menetap di Kota Madinah, timbul keinginan kaum Muhajirin untuk menunaikan ibadah haji sekaligus mengunjungi tanah kelahiran mereka. Nabi Muhammad Saw menyadari hal itu, sehingga beliau memutuskan untuk mengunjungi Makkah. 

Pada bulan Zulkaidah tahun ke-6 H atau 628 M, umat Islam bersama Nabi Muhammad Saw. berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Akan tetapi, para pemuka kaum kafir Quraisy berusaha menghadang rombongan umat Islam ketika mereka mengetahui keberangkatan tersebut. Sebenarnya, dalam tradisi masyarakat Arab, bulan Zulkaidah diharamkan untuk mengadakan peperangan, akan tetapi, kebencian telah membuat mereka mengabaikan tradisi itu.

Dikutip dari buku “Sejarah Lengkap Rasulullah Jilid 2” karya Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi, ketika rombongan umat Islam sampai di sebuah tempat bernama Hudaibiyah yang berjarak sekitar 6 mil dari Kota Makkah, mereka kemudian berhenti. Nabi Muhammad saw mengutus Utsman bin Affan untuk mengabarkan kepada kaum kafir Quraisy tentang maksud dan tujuan mereka.

Para pemuka kafir Quraisy bersikeras tidak mengizinkan rombongan umat Islam memasuki Makkah. Mereka kemudian mengutus Suhail bin Amr yang menonjol dan terkenal akan kecerdasan politiknya. Melihat kedatangan Suhail, Nabi Muhammad saw paham. Rasulullah bersabda, "Mereka menginginkan perjanjian damai saat mengutus orang itu."

Kedua kubu yang saling melobi mulai membahas poin-poin perundingan, ini terjadi setelah Utsman kembali saat kedua belah pihak menawarkan beberapa poin yang harus tertera dalam perjanjian damai.

Masing-masing mengemukakan berbagai permasalahan yang memicu perbedaan di antara mereka. Kedua kubu menyepakati beberapa poin sebagai prinsipnya namun tidak menyetujui poin-poin lain. Pembahasan dan perdebatan berlangsung lama dan alot, namun mereka berhasil membuat kesepakatan. Kesepakatan itu kemudian dinamakan Perjanjian Hudaibiyah.

Rasulullah saw kemudian memerintahkan sahabat Ali bin Abi Thalib untuk mulai menulis isi perjanjian tersebut secara resmi. Rasulullah saw memerintahkan Ali menulis kalimat Bismillahirrahmannirrahim (Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), saat itu Shuhail bin Amr menentang dan berkata, "Aku tidak kenal apa itu Maha Pengasih, tulis saja, Bismika Allahumma (Dengan nama-Mu ya Allah)." 

Para sahabat tersentak atas penolakan itu seraya menyatakan, "Allah Maha Pengasih, kami hanya akan menulis; Allah Maha Pengasih." Namun dengan langkah hikmah dan sabar, Rasulullah saw mengatakan kepada Ali "Tulislah (sebagaimana yang mereka minta); Dengan nama-Mu ya Allah." Ali terus memulai menulis isi perjanjian tersebut. 

Rasulullah saw menyuruh Ali untuk memulai dengan menulis kalimat; Berikut isi perjanjian utusan Allah (Rasulullah)... Sebelum menulis kata-kata itu, pemimpin utusan kaum Quraisy lagi-lagi menolak kata-kata utusan Allah (Rasulullah) seraya berkata, "Andai aku tahu kau adalah utusan Allah, tentu aku tidak akan menentangmu, tentu aku mengikutimu. Apakah kau tidak suka pada namamu dan nama ayahmu, Muhammad bin Abdullah? Tulis saja namamu dan nama ayahmu.”

Kaum muslimin menolak hal itu, hanya saja Rasulullah saw dengan hikmah, toleransi dan pandangannya yang jauh ke depan, beliau memutuskan perbedaan dan memerintahkan Ali untuk menghapus kata utusan Allah swt dari surat perjanjian itu, akhirnya para sahabat diam dan tenang.

Rasulullah saw menyetujui kaum musyrikin untuk tidak menulis kalimat Basmalah, dan sebagai gantinya ditulis "Dengan nama-Mu ya Allah." Seperti itu juga tulisan "Muhammad bin Abdullah," dan tidak menulis "Muhammad Rasulullah (utusan Allah)." Rasulullah saw juga setuju mengembalikan orang yang datang untuk bergabung dengan barisan kaum Muslimin dan kalangan kaum Muslimin yang hendak bergabung dengan kaum musyrikin tidak boleh dikembalikan. Rasulullah saw menyetujui semua hal tersebut untuk suatu maslahat penting yang akan didapatkan dari perjanjian tersebut, karena kesepakatan itu sama sekali tidak membawa kerugian. Basmalah dan ucapan dengan nama-Mu ya Allah artinya sama, seperti itu juga kalimat Muhammad bin Abdillah yang artinya juga Rasulullah itu sendiri. Tidak menyebut sifat Maha Pengasih Allah swt pada bagian ini tidaklah menafikan hal itu, tidak juga sifat risalah Rasulullah saw yang tidak disebut juga menafikan hal tersebut

Tuntutan mereka sama sekali tidak merugikan, namun kerugian bila mereka menuntut untuk menulis hal-hal yang tidak diperbolehkan seperti mengagungkan tuhan-tuhan mereka dan semacamnya.

Berkenaan dengan syarat harus mengembalikan kaum kafir Quraisy yang bergabung dengan kaum Muslimin dan tidak boleh menghalangi atau mengembalikan kaum Muslimin yang hendak bergabung dengan barisan orang-orang kafir Quraisy, Nabi menjelaskan alasan dan hikmah hal tersebut dalam sabdanya. “Barangsiapa di antara kami yang (untuk bergabung) dengan mereka, semoga Allah menjauhkannya dari (rahmat-Nya) dan orang yang mendatangi kami dari (barisan) mereka, Allah akan memberikan jalan keluar untuknya," kemudian terjadilah apa yang Rasulullah saw sampaikan. Perjanjian selesai disepakati dan menghasilkan sepuluh kesepakatan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement