REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Peran ulama dalam sebuah negara sangat penting dan krusial. Nasihat-nasihat ulama dibutuhkan oleh para pemimpin agar dapat menjalankan tugas kenegaraan dalam pakem-pakem kebajikan. Lantas apa yang terjadi jika kebebasan berpendapat para ulama dibatasi atau bahkan dibungkam?
Sejarah telah mencatat bagaimana lunturnya kewibawaan pemimpin ketika mencoba membatasi kebebasan berpendapat para ulama di era ulama mazhab. Campur tangan penguasa untuk menyetir pemikiran publik sangat mencederai moral kebangsaan.
Abul Yazid Abu Zaid Al Ajami dalam buku Akidah Islam Menurut Empat Madzhab menjelaskan, beragam ujian dan cobaan yang menimpa keempat imam madzhab selaku representasi pemikiran Islam tidak lain disebabkan karena efek campur tangan para khalifah penguasa.
Misalnya, Imam Abu Hanifah pernah secara lantang menyampaikan kebenaran ketika Khalifah Al Manshur menjelaskan terkait penduduk Mosul yang membelot dari janji setia untuk tetap taat kepadanya. Di mana mereka sendiri yang membuat syarat boleh dibunuh jika membelot.
Imam Abu Hanifah kemudian menyatakan sesuatu dalam kondisi itu, “Mereka membuat syarat yang tidak mereka miliki untukmu, kau pun memberlakukan syarat yang tidak kau miliki untuk mereka. Darah seorang Muslim tidak halal kecuali karena salah satu dari tiga hal.
Maka ketika kau menumpahkan darah mereka, kau telah mengambil sesuatu yang tidak halal. Sesungguhnya syarat Allah lebih baik untuk kau tunaikan.” Namun kebenaran yang disampaikan Imam Abu Hanifah ini tidak meluluhkan hati sang khalifah.
Begitu dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik juga pernah mendapat ujian karena mengeluarkan fatwa yang bersandar pada hadits shahih. Namun sensitivitas penguasa justru mengartikannya sebagai penentangan terhadap peraturan negara bahkan sebagai seruan untuk membelot.
Imam Syafii juga tak kalah menderitanya ketika menyampaikan kebenaran kepada penguasa. Suatu waktu Imam Syafii dengan tegas pernah menyampaikan tidak sependapat dengan pandangan para penguasa di masa pemerintahan Khalifah Ar Rasyid. Inilah yang kemudian membuat Khalifah Ar Rasyid marah dan memerintahkan untuk mendatangkan Imam Syafii ke hadapannya sambil terikat.
Imam Ahmad bin Hambal juga menjadi bukti kuat atas sikap khalifah yang langsung turun tangan dalam peperangan akidah. Sang khalifah berusaha untuk memaksakan pendapat dan pemahamannya, dia tahu bahwa kebebasan berpikir merupakan karakter dakwah yang dia usung sendiri dan juga guru-gurunya dari kalangan Mu’tazilah, memaksa Imam Ahmad mengemukakan pandangan yang dia anut agar rakyat tahu bahwa ulama ahli fikih sependapat dengan khalifah.
Pemaksaan pendapat ini memicu keresahan karena dijadikan senjata oleh Khalifah Al Makmun dan Al Mu’tashim yang mengharapkan ketenangan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam topik ujian yang dirasakan Imam Ahmad bin Hambal.