REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masih relevankah profesi wartawan ketika semua orang kini bisa membuat berita sendiri dengan Artificial Intelligence (AI) generatif? Ataukah profesi wartawan perlu merumuskan ulang relevansi dirinya?
Begitu juga ketika Artificial Super Intelligence mampu membantu banyak orang menyelesaikan problemnya sendiri terkait dengan hubungan media, pemasaran, periklanan dan sekitarnya. Apakah masih dibutuhkan kompetensi ahli strategi komunikasi, ahli pemasaran, dan periklanan?
Deretan pertanyaan tersebut akan dibahas dalam seminar bertajuk 'Artificial Intelligence dan Transformasi Dunia Komunikasi' yang digelar Paguyuban Alumni Ilmu Komunikasi UGM (Publikom Gama) di Gedung GPO TVRI Stasiun Pusat, Senayan, Jakarta, Sabtu (24/2/2024).
"Seminar digelar sebagai kontribusi pemikiran Publikom Gama terkait urgensi merespons kehadiran AI, yang telah memunculkan peta baru permasalahan komunikasi dan informasi," kata Ketua Umum Publikom Gama Imam Wahyudi dalam siaran persnya, Kamis (22/2/2024).
Seminar akan menghadirkan sejumlah narasumber yakni Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Prof Henri Subiakto, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM Mufti Nurlatifah, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia Janoe Arijanto, Ketua Dewan Pengawas LPP TVRI Agus Sudibyo, serta presenter dan sociopreneur Nadia Mulya.
AI Titik Kulminasi
Imam Wahyudi menambahkan AI merupakan titik kulminasi perkembangan teknologi digital hari ini. Mungkin AI bukan kulminasi terakhir, tapi saat ini semua perhatian mengarah ke sana. "Sulit dimungkiri, dunia komunikasi telah mengalami perubahan dramatis berkat transformasi digital," tuturnya.
Tidak terbatas pada teknologi kecerdasan buatan. Menurut Imam, transformasi yang dimaksud mencakup semua teknologi dan inovasi di bidang komputasional yang telah melahirkan fenomena internet of things, big data, cloud computing, machine learning, dan lain-lain.
"AI generatif terbukti disambut gegap gempita di seluruh dunia. Begitu banyak forum dan lembaga membahasnya. Pertanyaannya, apa saja implikasi AI terhadap dunia komunikasi?" ujar mantan anggota Dewan Pers ini.
Implikasi di sini perlu dijelaskan pada level berbeda-beda. Yang pasti, peta baru permasalahan komunikasi dan informasi di era AI ini perlu direspons secara bermakna oleh semua pihak. Baik masyarakat umum, praktisi media, para ahli, perguruan tinggi maupun pemerintah dan DPR.
Imam Wahyudi mencontohkan, regulasi seperti apa yang dibutuhkan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif AI? 'Sabuk pengaman' seperti apa pula yang perlu disiapkan pemerintah, tanpa berpretensi mereduksi segi-segi positif AI di berbagai bidang.
Lebih jauh, Imam menunjuk pentingnya antisipasi terkait proses pengajaran disiplin ilmu komunikasi di perguruan tinggi ketika mahasiswa begitu mudah menjawab pertanyaan dengan bantuan ChatGPT. Semisal dengan penyesuaian atau perubahan kurikulum.
"Ketika orang secara otodidak dimungkinkan menjadi wartawan atau praktisi periklanan, apakah mereka masih memerlukan jenjang pendidikan formal? Atau, pendidikan formal yang mesti merumuskan ulang relevansi dirinya sendiri?" urai Imam menyebut deretan pertanyaan yang masih terbuka untuk dibicarakan dan dibahas.
Kongres Publikom Gama
Seminar yang terbuka untuk umum ini diselenggarakan Publikom Gama berkolaborasi dengan Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan LPP TVRI.
Gelaran seminar itu sendiri merupakan bagian dari hajatan Kongres II Publikom Gama dengan agenda utama memilih ketua umum dan pengurus baru untuk masa bakti 2024-2029. Rangkaian kongres ditutup dengan temu alumni lintas angkatan yang dikemas dengan 'gaya Jogja' baik sajian acara maupun kulinernya.
"Puncak kegiatan ini diharapkan bisa menjadi forum untuk mempertemukan alumni lintas angkatan. Lebih dari sekadar reunian, acara ini juga potensial untuk membangun jejaring dan kebersamaan lintas-generasi maupun lintas-profesi," kata ketua panitia Ian Agisti Dewi Rani.