REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Mayoritas perusahaan swasta di Indonesia ternyata belum siap menghadapi serangan siber di tengah masifnya disrupsi kecerdasan buatan (AI) belakangan ini. Diperlukan lebih banyak talenta-talenta digital untuk memperkuat "benteng" keamanan siber.
Cybersecurity Readiness Index yang dirilis baru-baru ini oleh Cisco, sebuah perusahaan teknologi global, mengungkap hanya 11 persen korporasi di Indonesia yang memiliki kesiapan untuk menghadapi ancaman keamanan siber. Itu artinya 89 persen perusahaan rentan mengalami serangan siber yang mengancam keamanan basis data dan aktivitas digital organisasi.
AI juga telah merevolusi keamanan siber dan menaikkan tingkat ancaman, dengan sembilan dari 10 organisasi (91 persen) mengalami insiden keamanan yang berhubungan dengan AI tahun lalu. Yang menarik dari 61 persen organisasi yang menghadapi serangan siber justru dihambat oleh framework keamanan yang kompleks dengan solusi sistem yang tidak terintegrasi (disparate point solution).
Dari perusahaan-perusahaan tersebut, hanya 68 persen dari responden percaya bahwa tim mereka memahami ancaman terkait AI. Adapun perusahaan yang yakin bahwa tim mereka memahami cara pelaku kejahatan menggunakan AI untuk meluncurkan serangan siber hanya berkisar 65 persen.
Merespons temuan Cisco tersebut, Ketua Umum Asosiasi Digital Kreatif (Aditif) Saga Iqranegara menjelaskan bahwa pandemi Covid-19 memang mendorong perusahaan untuk melakukan transformasi digital. Namun menurut dia tidak banyak perusahaan yang memperhatikan keamanan sistem dan data mereka.
"Biasanya perusahaan baru memanggil ahli keamanan siber saat sudah terjadi masalah, semestinya itu bisa dicegah sejak awal," kata Saga dalam siaran pers, Jumat (30/5/2025).
Menurutnya, jasa keamanan siber memang membutuhkan biaya yang sangat besar. Kondisi ini pada akhirnya membuat tidak banyak perusahaan yang mampu menyiapkan dan menjaga keamanan sibernya. "Namun risiko atas kondisi ini membuat kerugian perusahaan akan jauh lebih besar," kata Saga yang aktif berkecimpung di industri digital.
Untuk itu, ia mendorong lahirnya lebih banyak talenta digital yang memiliki kualifikasi dalam menghadapi ancaman di dunia digital. "Indonesia membutuhkan lebih banyak lulusan keamanan siber yang tersertifikasi," tuturnya.
Secara terpisah, Direktur Politeknik AI Budi Mulia Dua (PLAI BMD) Ridho Rahmadi menegaskan perlunya perguruan tinggi dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas para talenta dan profesional di bidang AI, khususnya yang menguasai keamanan siber.
"Apalagi pada 2030, Indonesia diperkirakan membutuhkan 9 juta talenta digital yang artinya bisa sekian kali lipat jika diproyeksikan pada kebutuhan talenta AI dengan kepakaran lebih spesifik di dalam spektrum digitalisasi, seperti untuk menjaga keamanan siber," ujar doktor di bidang data science and machine learning Universitas Radboud, Belanda, ini.
Menurut Ridho, penguatan keamanan dunia siber memerlukan talenta-talenta digital yang dibekali keterampilan teknis dan telah belajar langsung tentang cyber security dari dunia industri. Kualifikasi ini diterapkan di PLAI BMD yang berdiri pada April 2025 dan berbasis di Sleman, Yogyakarta, sebagai kampus AI pertama di Indonesia.
"PLAI BMD menawarkan tiga program studi unggulan, salah satunya adalah Rekayasa Keamanan Siber yang diperkuat pengajar profesional dan praktisi andal. Kurikulumnya terdiri dari 70 persen praktik dan 30 persen teori, serta bekerja sama dengan 13 mitra industri. Jadi ketika lulus mahasiswa siap menghadapi ancaman dunia siber yang sesungguhnya," kata Ridho yang juga menyandang gelar master di bidang AI dari dua kampus Eropa, yakni Universitas Johannes Keppler Linz dan Universitas Teknik Ceko, tersebut.