REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG----Kalangan akademisi dan kenotariatan menyambut positif kebijakan pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Karena, saat ini perubahan teknologi informasi sangat pesat.
Menurut Ketua Ikatan Keluarga Alumni Notariat Universitas Padjadjaran, Ranti Fauza Mayana, urgensi akan revisi kedua UU ITE dapat dikatakan merupakan hal yang sangat mendesak, dan tentu hal ini merupakan suatu hal yang bersumber dari keresahan yang terjadi dalam masyarakat.
Revisi ini juga, kata dia, merupakan bentuk kepedulian pemerintah terhadap keberlangsungan hukum dalam negeri ini. Dalam pelaksanaan UU ini setelah diundangkan sejak tahun 2008 telah menuai tidak sedikit permasalahan yang menyalahi rasa keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat.
"Kami melihat adanya sesuatu langkah proaktif dan progresif dari pemerintah. Dari UU ITE yang baru itu tidak hanya aturan-aturan yang disempurnakan, tapi juga membuat saturan-aturan baru dituangkan dalam pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang lebih luas dan konprehensif," ujar Ranti usai Seminar Nasional UU Nomor 1 Tahun 2024 Tentang ITE, Transformasi Digital dan Cyber Notary di Kampus Unpad, Kota Bandung, Jumat (1/3/2024).
Ranti mengatakan, sebagai masyarakat digital tentu sangat menginginkan adanya suatu peraturan yang dapat memeberikan rasa aman, nyaman, dan beretika di bidang ITE. Sehingga bisa menggunakan media itu secara sebaik-baiknya. "Itu semua terangkum dalam Undang-Undang ITE yang baru yang juga memberikan adanya suatu ruang kepada notaris untuk dapat meningkatkan cybernotary," katanya.
Menurutnya, tak hanya pembuatan undang-undangnya pihaknya pun menunggu implementasinya di lapangan. Ia menilai suatu regulasi yang bagus tidak hanya dari segi aturan tapi bagaimana pelaksanaan aturan di dalam bermasyarakat.
Selama ini, kata dia, aktivitas notaris dilakukan secara konvensional. Sehingga, tentunya secara teknis pelaksanaannya harus menyesuaikan dengan prinsip-prinsip dan kaidah yang diatur di dalam ketentuan tentang data elektronik.
Mengenai keamanan, Ranti berharap ada pengaturannya secara khusus. Tinggal bagaimana setiap profesi, termasuk notaris menyesuaikan dan menyelaraskannya, tentu dengan aspek perlindungannya. "Jadi sudah disampaikan oleh para narasumber, perlindungan terhadap data pribadi dan lain-lainnya. ini semua sudah diatur secara lebih komprehensif dituangkan dalam pasal-pasal," katanya.
Secara komprehensif, kata dia, penyesuaian ulang terhadap muatan unsur dan pemformulasian sebagian pasal dalam UU ITE meliputi aturan mengenai alat bukti elektronik, sertifikasi elektronik, transaksi elektronik, perbuatan yang dilarang beserta ketentuan pidananya, peran pemerintah, dan kewenangan penyidik pejabat pegawai negeri sipil.
Revisi UU ITE ini pun, kata dia, bersifat pelengkap terhadap materi yang sebelumnya telah diatur dalam UU ITE 11/2008 mengenai identitas digital dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik, pelindungan anak dalam penyelenggaraan sistem elektronik, kontrak elektronik internasional, dan peran pemerintah dalam mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif.
"Kita sebagai insan digital perlu mencermati aturan terbaru yang sudah ada sebagai suatu aturan yang berlaku saat ini karena bedasarkan teori Fiksi Hukum semua orang dianggap tahu hukum (presumptio iures de iure)," katanya.
Menurutnya, sebagai insan digital perlu menggunakan media digital secara bijak agar dapat terciptanya ruang digital yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan. Serta, memberikan rasa aman dan kepastian hukum bagi pengguna dan Penyelenggara Sistem Elektronik sebagaimana yang menjadi tujuan pembentukan UU ini.
Sementara menurut Direktur Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Santun Maspari Siregar, pemerintah selama ini sebetulnya sudah berbasis teknologi informasi. Namun terkait dengan akta-akta kenotariatan, memang di undang-undang, jabatan notaris masih dipersyaratkan masih harus melakukan pertemuan secara langsung.
"Itu yang kedepan harus kita lakukan penyesuaian, dalam arti harus revisi UU Jabatan Notaris yang ada saat ini," katanya.
Menurutnya, undang-undang harus diawali dengan naskah akademis yang disusun oleh BPHN. Biasanya pembahasan tersebut, bersama dengan akademisi. "Kemudian dari naskah akademis itu kita melakukan pembahasan pasal-pasal mana yang harus dilakukan revisi atau penyesuaian terhadap kondisi regulasi terkini yang ada sekarang ini," katanya.
Akademisi sendiri, kata dia, sudah memberikan kajian terkait dengan cybernotary. Pihaknya juga masih meminta berbagai pandangan, terutama dari sisi akademisi dan juga dari notaris.